Gamelan baru saja ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh UNESCO. Hal ini berdasarkan keputusan sidang UNESCO sesi ke-16 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage, pada 15 Desember 2021 di Perancis.
Dengan demikian, gamelan menambah deretan jumlah ke-12 WBTB yang berasal dari Indonesia. Sebelas lainnya di antaranya, wayang, batik, keris, angklung, tarian sampai pantun.
Iman Kristen dan Budaya
Saat-saat awal agama Kristen merasuki orang Jawa, gamelan pernah “diharamkan”. Dalam catatan sejarah, pribumi Jawa (khususnya di Jawa Timur), orang pertama yang dibaptis adalah Kyai Dasimah.
Ia dibaptis di Gereja Protestan Surabaya tanggal 12 Desember 1843. Dasimah mengenal Injil bukan dari lingkaran zending atau Gereja. Ia mengenal dari Johannes Emde, tukang arloji keturunan Jerman yang menetap di Surabaya.
Emde adalah penganut paham peitisme yang saat itu sedang ‘viral’. Sebuah paham yang menekankan kemurnian atau kesalehan pribadi. Layaknya sepuluh perintah, Emde membuat sepuluh larangan. Tak heran ketika menjadi Kristen, hal tersebut mengubah rasa kejawaan Dasimah.
Seperti misalnya, larangan menonton wayang, mendengar gamelan, memakai keris sampai sunat. Kebiasaan lelaki Jawa yang berambut panjang terlilit udheng. Bawahan sarung terselip keris. Hal-hal yang sudah terbiasa terihat ini berubah total.
Semakin klimis. Rambut pendek tanpa udheng. Kemeja dan pantalon putih tanpa keris. Begitulah penampilan baru orang Jawa yang beragama Kristen waktu itu.
Ejekan teman pribumi pun nyaring terdengar. “Kristen Landa” atau ” Londo ireng tanpa sepatu”, dan lain-lain. Landa (baca: londo) penggalan dari kata Belanda, maksudnya.
Sinergi Jawa dan Kristen
Pada saat yang sama, tak jauh dari Surabaya. Di distrik Ngoro, Jombang, seorang peranakan Indonesia-Rusia, Coenrad Laurens Coolen mengenalkan Injil yang 180 derajat berbeda dari Emde.
Ia justru memakai wayang, gamelan dan adat-istiadat Jawa lain untuk menaburkan benih Kabar Baik. Ia tidak membuang kejawaan, tradisi atau budaya masyarakat, namun ikut menghidupinya.
Bukan suatu kebetulan juga bila orang Jawa saling berhubungan dalam kekerabatan atau kekeluargaan. Tak heran, orang Jawa Kristen hasil buah pekerjaan Emde dan Coolen itu saling bertemu.
Pada awalnya, mereka tentu saja bergumul dengan perbedaan itu. Pertentangan pun kerap muncul. Beruntung, ada pendeta Zending, Jelle Eeltje Jellesma yang pada tahun 1848 tiba di Jawa.
Sebagai pendeta utusan dari Nederlands Zending Genootschap (NZG) yang ditugaskan ke Jawa Timur, Jellesma seakan menjadi penengahnya. Ia bisa menyatukan keduanya kelompok tersebebut.
Dari Surabaya yang hanya beberapa bulan tinggal, akhirnya ia menetap di Mojowarno sebagai tempat pelayanannya (1851). Terdapat lebih dari 2.500 nama orang Jawa yang tercatat dalam buku baptisan yang disimpannya.
“Jellesma telah mempersatukan kedua aliran kekristenan jang masih muda itu di pulau Djawa, jaitu aliran Barat dan aliran Djawa asli. Aliran Barat menghambat perkembangan Geredja sehingga Geredja mendjadi lemah, sedangkan aliran Djawa bertumbuh dengan liarnja sehingga lenjaplah kekristenannja jang sedjati. Sebenarnja Jellesma telah meletakkan dasar jang baik bagi Geredja Kristen serta Geredja Djawa jang sedjati.”
Begitulah kesaksian C.W Nortier dalam bukunya, van Zendingsarbeid tot Zelfstandige Kerk in Oost Java.
Foto : Gamelan Mojowarno
Sumber: YouTube Kabar Paseduluran
0 Komentar