Tanggal 11 Desember diperingati sebagai Hari Gunung Internasional. Tema tahun 2021 ini adalah “Pariwisata Gunung Berkelanjutan.”
Melansir data dari PBB, ada 915 juta orang (13%) tinggal di area gunung. Mereka mengandalkan gunung sebagai mata pencahariannya.
Dari jumlah itu, 90 % berada di negara berkembang. Dan sepertiganya diidentifikasi rawan pangan.
Dengan tema hari gunung tahun ini, diharapkan pariwisata gunung bisa mendongkrak pendapatan masyarakat sekitar. Terutama pada saat pandemi seperti ini, ketika industri pariwisata mengalami kelesuan usaha.
Bencana Jadi Wisata?
Bukan kebetulan, pada saat yang sama, Gunung Semeru di Jawa Timur menyemburkan awan panasnya. Relawan sampai Presiden sudah di tempat yang semestinya. Bantuanpun mengalir begitu cepat. Kondisi kemanusiaan tak boleh dibiarkan berlarut tanpa penanganan yang tepat.

Namun pada sisi lain, terdapat pemandangan yang rasanya tidak etis dilakukan. Terdapat kunjungan “wisatawan” yang hanya sekedar berswafoto atau melakukan siaran langsung lewat media sosialnya.
Bukannya membantu, “wisata bencana” ini menimbulkan masalah baru di sana. Bahkan Bupati Lumajang, Thoriqul Haq pun sempat marah melihat frenomena ini.
“Soal yang ingin foto-foto, jeprat-jepret, sudah. Bukan waktunya sekarang. Ini bukan tontonan, bukan tempat wisata,” ujarnya, dikutip dari pemberitaan Antara, Kamis (9/12/2021).
“Kendala itu banyak orang ke sana, termasuk mobil-mobil yang ke atas. Itu yang membuat masalah,” ucapnya di Kecamatan Pronojiwo, Lumajang.
Memang kawasan Umbulan di Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo adalah wilayah terparah bencana Semeru. Tetapi justru karena faktor ini, banyak didatangi warga. Berburu foto dan dan video langsung dari tempat bencana.
Paham Konteks
Merujuk tema Hari Gunung Sedunia tahun ini sebagaimana dimaksud di atas, dengan menjadikan bencana alam karena faktor letusan atau erupsi gunung menjadi dua hal yang berbeda konteks.
Tidak sepatutnya dan beretika ketika bencana sedang terjadi kemudian dijadikan sebagai objek wisata. Terlebih lagi jika itu untuk pencitraan diri.
Wisata kebencanaan memang ada dan sengaja dibuat wisata. Namun ini biasanya ketika bencana itu sudah selesai. Sudah ada penanganan atau sampai proses pemulihan (recovery). Misalnya wisata di eks lokasi bencana semburan gunung Merapi.
Wisata bencana menjadi monumen, kenangan pahit masa lalu. Namun bisa menjadi sebuah pelajaran pada masa depan.
Agak beruntung ini terjadi di saat musim kampanye. Bencana keraplai menjadi panggung bebas menjual rupa wajah. Kemanusian jargonnya. Memberikan bantuan sesama, katanya.
Jika niat kita memang ikhlas mempersembahkan, bukankah kita pun sudah diajarkan yang seperti ini?
“Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu”.
0 Komentar