Pendeta Oei Soei Tiong (Ketika Tionghoa dan Jawa Kristen Bertemu)

Hari itu di Sidoarjo tahun 1894. Di tempat usaha pembuatan petasan, seorang pemuda Tionghoa terperanjat. Oei Soei Tiong, nama pemuda itu. Umurnya baru genap 18 tahun. Ia bekerja di bagian linting. Tugasnya membungkus serbuk mercon dengan kertas.

Betapa terkejutnya ia saat itu, ketika mengambil sobekan kertas untuk melinting. Kertas yang tidak seperti biasanya. Ia mencoba membacanya. Ada satu kalimat yang mengganjalnya. “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombaNya.”

Pertanyaan penasaran pun muncul. Ia simpan sobekan kertas itu di saku. Tidak jadi sebagai bungkus mercon.

Berhari-hari pemuda Oei Soei Tiong mencari jawab. Arti dan dari kitab apa sobekan kertas itu berasal. Sepertinya susah mencari jawab di sekitaran Sidoarjo saat itu.

 

Jejak Sejarah

Bukan suatu kebetulan, dahulu sebelum Oei Soei Tiong lahir, di dekat Pecinan Sidokare (nama sebelum Sidoarjo) terdapat persil pemukiman pribumi Jawa Kristen. Tuan tanah W. Gunsch adalah pemiliknya.

Model sewa seperti tuan tanah Coenrad Laurens Coolen di Ngoro, Jombang. Perbedaannya, Coolen mengajarkan penyewa tanahnya bertani. Sedangkan Gunsch, seorang pengrajin, berdagang sampai kuli.

Jemaat Jawa Kristen di Sidokare saat itu dalam masa kejayaannya. Gunsch membangun Gereja seharga 1.000 gulden dan sekolah yang bagus. Pengusiran penduduk Ngoro oleh Coolen karena masalah baptisan, makin menambah ramai Sidokare.

Arsip catatan zending tahun 1847 menulis, ketika Pdt. W. R. Baron van Hoevellen dan Pdt. J. J. Scheuer berkunjung ke Sidokare, mereka terkejut dan terharu. Ternyata di situ ada kumpulan pribumi Kristen tanpa bimbingan Gereja dan misi zending.

“Ibadah Gereja dihadiri 200 orang Jawa, termasuk 90 anggota baru. Paulus Tosari yang memimpin. Jacobus Singotroeno memberikan kotbah. “

Sayangnya kumpulan Kristen Sidokare ini lambat laun menyusut bahkan lenyap tanpa bekas. Sifat otoriter tuan tanah Gunsch menjadi salah satu penyebabnya.

Catatan literatur terakhir Sidokare di tahun 1862 menulis demikian. “Tuan tanah sudah beralih ke orang lain. Tersisa ada 10 keluarga Kristen. Gereja sudah tidak ada lagi. Hanya ada 20 murid bersekolah.”

Terlebih lagi pembukaan Hutan Kracil menjadi desa Kristen Mojowarno tersiar pesat. Menjadi magnet penyewa tanah Sidokare tertarik pindah ke sana.

Akhirnya bangunan pemukiman Kristen, Gereja dan sekolah Sidokare telah lenyap tak berbekas. Tetapi jejak Firman masih terasa ada. Masih hidup mengalir ke mana-mana. Terbukti masih di seputaran Sidoarjo, Oei Soei Tiong akhirnya menemukan jawaban pertanyaannya selama ini. Ternyata sobekan kertas tadi berasal dari Kitab Injil Yohanes 10 : 11.

 

Jawaban Doa

Tercatat, Oei Soei Tiong bergumul atas kutipan Firman Tuhan itu dengan teman Jawanya. Ngelmu kekristenan sampai ke Mojowarno pun pernah. Baptisannya (tahun 1898) tercatat di Stamboek (Buku Induk) Gereja Kristen Jawa di Malang.

Tulisan Jerobeam Mattheus Jr.* berjudul De Chineesche Kerk op Oost Java di Majalah Tijdschrift voor Zendingswetenschap edisi 01-01-1934 mengungkapkan begini. “Di Sidoarjo Tionghoa bergabung dalam jemaat Jawa. Dua kali dalam sebulan ayah saya (Kjai Matius Madakim, red.) melayani Firman.”

Demikian juga di Mlaten (Krembung, Sidoarjo). Tionghoa Kristen beribadah di Gereja Jawa Mlaten. Ikut memperbaiki Gereja yang mulai rusak. Sebelum mereka mampu menyewa tempat sendiri untuk beribadah.

Mattheus Jr. juga menulis, “Kira-kira tahun 1898 di Kendalpayak, dekat Malang ada misi. Bangunan Gereja, rumah sakit dan sekolah kerajinan telah ada di sana. Tetapi sekarang telah dijual dan berubah menjadi pabrik karton dan kopi ‘Nimef'”.

Tanggal 19 Februari 1898, beberapa orang Tionghoa dari Malang dan Sidoarjo dibaptis di sana oleh misionaris J. Kreemer. Nama yang kami ingat dari Malang adalah Kang Liong To, yang sekarang tinggal di Mergan. Kang Tjin Tap, alias Johannes yang punya pemerahan susu di Sukorejo. Dari Sidoarjo Oei Soei Tiong ketika dibaptis memilih nama Petrus,” tulisnya lebih lanjut.

Walaupun baptisan ini membuat marah besar keluarganya, tekad Oei Soei Tiong menjadi Kristen sudah bulat. Sebulat bulan purnama penuh. Nama baptis Petrus serasa pas dengan Oei Soei Tiong.

Ia berubah menjadi penjala manusia yang luar biasa. Injil diwartakannya di sana-sini. Terutama kepada kaumnya, Tionghoa. Dari Sidoarjo, Mojosari sampai Bangil. Oei Boen Yang, ayahnya juga mulai berbalik arah karena penginjilannya. Dan akhirnya dibaptis dengan nama Abraham.

Injil mulai menyebar. Kelompok-kelompok Tionghoa Kristen mulai muncul. Di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Mojosari sampai Malang. Oei Soei Tiong ingin membentuk satu ikatan atau bond seperti Gereja-gereja Jawa di Jawa Timur (Majelis Agung GKJW).

Akhirnya pada tanggal 26 Juni 1932, Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) pun terbentuklah secara resmi.

Selanjutnya, tanggal 31 Juli 1932, bertempat di GKJW Talun-Malang, Pdt. H.A.C Hildering meneguhkan empat tua-tuanya. Herbert G. Low dan Ny Elizabeth Tjikra, dari Malang dan Lie Liong Biauw dan Sie Ing Swie, dari Mojosari.

Setelah itu dilanjutkan dengan rapat majelis yang pertama. Terbentuklah susunan pengurus demikian.
Penasihat     : Pdt. H.A.C Hildering dan Pdt. J.Pik
Ketua            : GI Oei Soei Tiong
Penulis         : GI Mattheus Jr.
Bendahara   : Tua-tua dari Mojosari

Pembentukan THKTKH ini mendorong keinginan jemaat-jemaat Tionghoa lainnya (totok) di Jawa Timur untuk bergabung. Pada tanggal 22 Februari 1934, secara resmi berdiri Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) Klasis Jawa Timur. Dengan Majelis besar (Tay Hwee) dari ketujuh Gereja setempat (Bangil, Probolinggo, Mojokerto, Mojosari, Malang, Bondowoso, dan Jatiroto).

Pengurus Hariannya terdiri dari:
Penasihat  : Ds. H.A.C Hildering & J.Pik
Ketua          : Pdt. Oei Soei Tiong
Sekretaris  : Sdr. Liem Liang Kiem
Bendahara : Sdr. Lie Jeng Kiet

Tanggal 22 Februari 1934 ini lantas ditetapkan sebagai hari jadi GKI Jatim. Sebagaimana termuat dalam persidangan Sinode GKI Jatim XXXVII tahun 1983 (Akta Persidangan Terbuka Sinode GKI Jatim XXXVII, pasal 66 ayat 2)

 

Catatan:
*) J. Mattheus Jr. adalah putra dari Kjai Mattheus Madakim, voorganger (pendeta, guru Jemaat Kristen Jawa pertama di Surabaya (sekarang bernama Greja Kristen Jawi Wetan atau disingkat GKJW).

 

Posting Komentar

0 Komentar