Dalang Sejati (Ketika Para Dalang Mengenal Injil)

UNESCO, tanggal 7 November 2003 menetapkan wayang  sebagai Warisan Mahakarya Dunia yang Tak Ternilai dalam Seni Bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Pun demikian untuk alat musik pengiringnya, ‘Gamelan’.

Bisa jadi wayang adalah “warisan spiritual” manusia Jawa. Karena kadang orang Jawa mengungkapkan kehidupan, wawasan tentang Tuhan, dunia dan manusia lewat wayang.

 

Injil di Tangan Para Dalang

Hampir 200 tahun lalu, ketika kekristenan ngrasuk (merasuk) di pribumi Jawa ( Timur), wayang juga menjadi perdebatan.

Bukan suatu kebetulan Injil dikenalkan oleh warga awam. Bukan dari misionaris zending ataupun Gereja.

Mereka adalah Coenrad Lauren Coolen, tuan tanah Ngórö, Jombang , serta tukang resparasi jam, Johannes Emde di Surabaya.

Awalnya mereka adalah satu kelompok, kumpulan Orang Saleh di Surabaya (OSS). Kumpulan pemahaman Alkitab yang dibuat Emde tahun 1825. Ujunhnya mereka berpisah tempat dan cara pandang.

 

Coolen di Ngoro, Jombang

Seputaran tahun 1835, Coolen mengenalkan Injil kepada penyewa tanahnya lewat wayang. Coolen yang blasteran Indo ( bapaknya turunan Rusia dan ibu turunan ningrat Kajoran Surakarta) sangat mencintai kebudayaan ibunya. Ia fasih mendalang juga Wijögö (pemain gamelan). Kadang juga mengajar menyanyi tembang dan menari (Jawa).

Setelah kebaktian Minggu, Coolen mengumpulkan penduduk di pandöpó rumahnya. Sekedar untuk menonton wayang. Coolen sendiri sebagai dalangnya. Cerita-cerita Alkitab menjadi alurnya. Kotbah Minggu serasa diulang kembali. Mereka menghabiskan Hari Minggunya di pendopo yang luas itu. Penontonnya tidak seputaran Jombang,  dari Solo dan Banyuwangi pun ada.

Ngoro yang makmur membuat Coolen sukses dan kaya. Perangkat lengkap wayang purwó (wayang kulit) ,wayang krucil (boneka kayu) dan gamëlan,  ia punya. Semuanya dipesan khusus kepada ahlinya. Coolen memanggil tukang tembaga gamelan dari Bangil dan pengrajin kulit wayang dari Sidoarjo.

Sewa tanah murah dan subur menjadi bekas Hutan Dagangan sepi dan angker itu mendadak ramai. Ketika seseorang ingin belajar kekristenan, Coolen mengajari 3 rapal.

Rapal Pengandelan ( Pengakuan Iman Rasuli ), Rapal Pujian (doa Bapa Kami) dan Racikan Sedasa Prakawis ( 10 perintah TuhanTuhan ). Ajaran yang sama persis di Alkitab.

Untuk membantu dan mengatur semuanya, Coolen menunjuk beberapa pinituwa (penatua). Singötroenó adalah salah satu orang kepercayaannya.

 

Emde di Surabaya.

Dalam waktu bersamaan dengan tempat berbeda, di Surabaya pribumi Jawa juga mulai berkenalan dengan Injil. Keluarga Johannes Emde adalah penaburnya. Berkat bimbingannya, 35 pribumi Jawa dibaptis, 12 Desember 1843. Setiap tahun jumlah baptisan Jawa semakin menjadi.

Ejekan teman pribuminya kerap terdengar.  “Agama Londo, Kristen Londo, Londo ireng tanpa sepatu” dan seterusnya.

Mengapa begitu, karena Emde yang pietisme itu mengajarkan orang Jawa Kristen baru itu aturan ketat. Bak 10 perintah, Emde membuat 10 larangan. Dilarang menonton wayang, bermain gamelan, memakai udheng, memotong rambut sampai sunat.

 

Pertemuan Dua Kutub

Profil orang Jawa yang selalu berhubungan paseduluran atau kekerabatan ini membuat kedua kelompok ajaran (Coolen dan Emde) bertemu.

Salah satu kisah mengenai pertemuan pada dalang hingga terjadi babtisan, diceritakan demikian.

Saat itu Singötroenó dari Ngoro diundang Pak Mi di Desa Sëkardangan, wilayah Djanggóló, Sidoarjo. Pak Mi adalah seorang dalang, beberapa lalu pernah berkunjung ke Ngoro. Tak heran ia sedikit mengenal ajaran Coolen.

Senanglah Pak Mi atas kedatangan Singötroenó di rumahnya. Ia ingin mengerti lebih lagi elmu ‘Toya Wening’ (air jernih), katanya.

Singo-troenö : Oh, aku sama bodohnya denganmu. Kita berdua laki-laki tetapi tidak ada yang berilmu kecuali yang menciptakan langit dan bumi. Kita manusia hanya bisa saling menunjukkan jalan. Lihatlah, Anda dalang, dalam melayani orang lain; apa yang kamu katakan kepada orang-orang ?”

Paq-Koentó : Apa yang harus kukatakan, temanku? Nah, saya hanya melayani permintaan. Jika mereka menginginkan kisah Rama, ya saya ceritakan tentang Rama. Jika membutuhkan Pandöwö saya akan cerita Pandöwö.”

Singa-troenö : ” Saya pikir akan lebih baik jika anda menjadi dalang – dalang sejati !”

Paq-Koento : ” Katakan padaku, apa maksudmu dengan dalang sëdjati ?”

Singa-troenö : “Jika Anda menceritakan tentang Juru Selamat manusia, Anda adalah seorang dalang sedjati.”

Paq-Koentö : ” Tapi Juru Selamat itu belum kukenal!”

Singa-troenö : ” Juru Selamat itu adalah Anak Allah. Disebut Yesus Kristus. Ini adalah orang yang dipuja sebagai nabi yang agung (nabi linuwih). Dia turun dari surga ke bumi, diutus oleh Allah Bapa. Jika Anda menceritakan ini, anda akan menjadi dalang sedjati. Karena Tuhan Allah menganggapnya perlu untuk mengutus Anak-Nya ke dunia, agar orang berdosa dapat bertobat dan diselamatkan.”

***

Kalaupun Kekristenan dianggap suatu elmu baru, tidak benar juga. Buktinya rumusan paten, elmu harus dirahasiakan terbantahkan. Mereka justru dengan ikhlas menyebarluaskan. Tidak ada yang dirahasiakan lagi.

Pak Mi mengundang kenalannya, mumpung Singa-troenö datang.

Seperti pertemuan para dalang, rumah Pak Mi penuh. Dalang-dalang kenalan Pak Mi berdatangan, seperti : Paq Koento dari Desa Karungan, Wiriögoenö desa Bogëm, Matteous Aniep dari Desa Sönö. Terlihat Kartö-goenö juga turut hadir.

Sampai tiga malam Singa-troenö tertahan di Sëkardangan.

Melalui proses panjang mereka akhirnya mengaku percaya dan minta dibaptis. Baptisan ini justru membuat pergumulan baru orang Jawa ini. Karena Coolen menolaknya. Alasannya, takut orang Jawa kehilangan kejawaannya, seperti pengikut Emde.

Mengetahui Singa-troenö dibaptis di Surabaya, meledaklah luapan kemarahan Coolen. Singa-troenö melawan, keputusan baptisnya sudah mantap.

“Meskipun aku harus mati, jika saja jiwaku diselamatkan! Seandainya tuanku harus memenggal kepalaku, Pembaptisan dalam nama Tuhan Yesus membawa jiwaku diselamatkan. Aku tidak takut lagi!”

Akhirnya diusirlah Singa-troenö dari Ngoro oleh Coolen.

 

Akhir Cerita

Pribumi Jawa Kristen awal mengalami pergumulan yang sama. Sampai akhirnya Pendeta Zending untuk pribumi Jawa pertama datang, Jelle Eltje Jellesma. Semua perbedaan cara pandang berakhir.  Jellesma menjadi penengah antara pandangan Coolen dan Emde. Antara kebudayaan Barat dan Timur.

Jellesma meringkas, menerjemahkan Surat Korintus ( karena saat itu Alkitab Jawa dilarang beredar oleh pemerintah).

Bukan tanpa sebab Jellesma menulis tangan Surat Korintus ini. Ia berharap supaya orang Jawa tidak memperdebatkan penampilan saja.

Jellesma mencoba menerangkan seperti perkataan Rasul Paulus di Jemaat Korintus. Paulus berbicara tentang apa yang pantas tentang adat istiadat dan kebudayaan di Korintus.

Pribumi Jawa itu bergumul dalam alam pikirannya sendiri. Mereka akhirnya tahu bahwa Yesus datang untuk semua suku bangsa di dunia.

*) ditulis untuk Penabur.id

Posting Komentar

0 Komentar