Surat dari Peniwen

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte Hari Kamis (17/2/2022) lalu menyatakan permintaan maafnya secara resmi.

Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya menyampaikan permintaan maaf terdalam saya kepada rakyat Indonesia atas kekerasan sistematis dan ekstrem dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu,” kata Mark Rutte seperti dikutip dari Kantor Berita AFP, Jumat (18/2/202).

Permintaan maaf ini bersamaan setelah hasil studi peneliti Belanda dan Indonesia selama empat tahun selesai. Penelitian berjudul ‘Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950’. Riset ini melibatkan 25 akademisi Belanda, 11 peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan 6 pakar internasional. Hasilnya, ditemukan bahwa pasukan Belanda membakar desa-desa, melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-1949.  Saat itu seakan peristiwa kelam setelah kemerdekaan itu ditutup-tutupi . Hasil penelitian juga mengungkap, banyak pihak yang tahu tetapi sengaja membiarkannya.

Periode itu kita sering menyebutnya agresi militer atau aksi polisionil. Ternyata banyak juga jemaat Kristen dan Gereja yang menjadi korbannya.

 

Pawartos Ringkes

Adalah Pawartos Ringkes, majalah bulanan Greja Kristen Djawi Wetan yang mencatatnya. Majalah dengan format sederhana dan seadanya (kalau tidak mau dikatakan, mengenaskan). Sebenarnya Gereja ini sebelumnya mempunyai Majalah Doeta. Majalah bulanan yang cukup baik dan tebal, diterbitkan rutin setiap bulannya. Sayangnya sejak kedatangan Jepang semuanya menjadi berhenti total.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Pawartos Ringkes seperti namanya (warta singkat) mencoba mengawalinya kembali. Berita  tulisan pendek kabar di jemaat-jemaat menjadi menunya. Paling tidak  dari majalah sangat sederhana ini kita bisa mengetahui keadaan jemaat dan Gereja di (Jawa Timur) sekitaran tahun 1945 -1949 itu.

Seperti Pawartos Ringkes edisi no. 7 Bulan Februari 1949 dan No. 8 Bulan Maret 1949 :

Di Mojowarno, Gereja masih tetap utuh. Rumah sakit mengalami kerusakan. Sebagian sekolah dan kapandhitan (rumah pendeta) hancur rata dengan tanah. Pendeta Soewoto Timin tetap setia melayani kebaktian jemaat. Kertorejo, tidak ada kerusakan yang berarti. Pendeta Tasdik tetap melayani jemaat. Ngoro, Sekolah Rakyat mengalami kehancuran. Kebaktian tetap dilaksanakan di Gereja.Di kota Malang, Ibadah Minggu sudah mulai diadakan. Setelah sekian lama tutup karena ketakutan.Di Tambakasri, Gereja di bakar.Sitiarjo, sekolah, kapandithan, rumah kepala desa dibakar. Wonorejo, sekolah dibakar.Suwaru, tidak ada kejadian berarti. Keadaan aman seperti biasanya. Di Mojoagung, warga jemaat bahu membahu memperbaiki kerusakan yang ada. Pendeta Totodihardjo menguatkan jemaat dan mulai melayani Ibadah. Walau jumlah kehadiran sedikit, jauh dari biasanya.

Yang paling mengejutkan adalah kabar dari Jemaat Peniwen. Pendeta S Martodipoero menulis keadaan jemaatnya.

Lima ribu warga Peniwen menanggung luka yang mendalam atas kejadian tanggal 19 dan 20 Februari 1949. Ibadah Gereja Minggu 20 Februari 1949 terpaksa harus dihentikan. Karena pukul 09.00 bersamaan dengan jam ibadah, suara tembakan terdengar dari rumah sakit jemaat Panti Oesada. Tentara Belanda menembaki perawat dan pasien. Sepuluh korban tertembak dari jarak dekat. Sehingga banyak warga mengungsi sampai ke Tempursari

 

Peniwen

Adalah salah satu desa Kristen di Malang, Jawa Timur. Desa yang menghiasi perjalanan panjang sejarah awal kekristenan di Jawa Timur. Reklamasi Hutan Krantil oleh orang-orang Kristen dari Suwaru ini, sudah dimulai ratusan tahun lalu.

Pendeta zending di Këndalpayak, Malang,  J Kreemer ketika berkunjung di tahun 1881 menulis,

“ Diantara Laör dan Lëksó, cabang dari Sungai Brantas, pada ketinggian  dikelilingi oleh dua jurang yang dalam, Pëniwen terlihat sangat indah. Diantara rerimbunan perkebunan kopi tua pemerintah  Di Pëniwen sudah ada 23 keluarga dan sekolah sederhana untuk 27 muridnya. Guru jemaat Kjaï Zankioes adalah pemimpinnya.

Di dekat Peniwen masih ada sisa-sisa bekas tembok batas antara Malang dan Blitar: Batu-batu Mödjöpahit terhampar di sana dalam barisan yang panjang dan lebarnya beberapa kaki, kata mereka dari Ngantang sampai Pantai Selatan. Yang lebih menarik adalah patung-patung dari periode Hindu, Ditemukan oleh umat Kristen kita di pinggiran Peniwen yang begitu terpencil. Jauh di dalam hutan, di bawah semak belukar dan cabang-cabang yang tumbang, ditinggalkan karena pelapukan dan kehancuran”.

Sebagai desa Kristen pemimpin jemaat juga menjadi pemimpin desa. Lihatlah pendopo depan rumah Kyai Zankioes itu, berfungsi sebagai kantor desa, sekolah dan Gereja.

 

Pendeta H.A.C Hildering

Disamping menulis di Pawartos ringkes, Pendeta Martodipoero juga mengirim laporan kejadian ke Sinode, Majelis Agung GKJW tertanggal 25 Februari 1949. Dalam suratnya kepada Pendeta Mardjo Sir (Ketua Sinode Gereja), Pendeta Martodipoero menulis runtut kejadian yang terjadi. Dua hal yang menjadi subyek surat, Rumah sakit Panti Oesada dan Jemaat di Peniwen.

Dijelaskan Rumah sakit Panti Oesada adalah milik Sinode Gereja yang didirikan 4 tahun yang lalu. Di bekas rumah kapanditan (rumah pendeta) lama. Dengan banyaknya jumlah pasien maka ruangan ditambah 2 kelas.  23 mantri, perawat dan karyawan bekerja disini.

Selanjutnya surat itu merilis nama-nama korban meninggal dan kekerasan fisik lainnya. Tidak peduli tenaga kesehatan, pasien, wanita, orang tua mereka diperlakukan secara brutal. Penembakan terjadi dua kali. Sabtu pukul 4 sore, 19 februari 1949 dan Minggu pukul 9 pagi bertepatan ibadah Gereja tanggal 20 februari 1949. Seluruh peralatan dan obat-obatan dihancurkan dan dijarah.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, saya selaku ketua Majelis Jemaat Peniwen menyerahkan kepada Saudara dan mohon kepada Ketua Sinode Gereja Jawa Timur untuk segera mengusutnya.” kalimat penutup surat Martodipoero itu.

Dari tulisan di Pawartos Ringkes dan surat Pendeta Martodipoero inilah, Pendeta misionaris untuk Tionghoa di Surabaya , HAC Hildering menulis laporannya ke Gereja Hervormd Belanda. Tanggal 24 Maret 1949 Pers biro Nederlands Hervormde Kerk  merilisnya. Gemparlah berita itu di negeri Belanda. Tak pelak pro dan kontra terjadi. Hildering mendapat kecaman, pembuat berita hoax sampai antek Soekarno. Tetapi tak sedikit pula yang memberi dukungan.

Koran di negeri Belanda menulisnya di halaman depan. De Waarheld memberi judul “Kisah Seram Pendeta Hildering”.  Het Vrije Volk memberi tajuk “Pembantaian di Jawa Timur dan Aksi Pembersihan”. Sambil menyarankan  Kementerian Wilayah Luar Negeri untuk melakukan penyelidikan. The Nieuwe Rotterdamse Courant menulis, “Tanpa meragukan kebenaran laporan. Kami menunjuk pada kontradiksi antara laporan dalam “Pawartos Ringkes”, yang tanggal eksekusi pada Minggu pagi 20 Februari. Sementara laporan itu berbicara tentang Sabtu sore, 19 Februari 1949.”

Dari Jakarta belum ada keterangan resmi dari pemerintah atau militer tentang kejadian di Peniwen. Otoritas militer di Malang menyatakan sampai tanggal 18 Maret 1949 belum menerima laporan tentang surat Pendeta Peniwen. Seraya menyayangkan sikap Gereja Hervormd merilisnya sebelum meverifikasi kebenarannya.

Akhirnya beberapa komisi dan komite penyidikan dibentuk. Di era Perdana Menteri Piet De Jong (1969) menyatakan, tentara Belanda melakukan tindakan yang benar di Indonesia. Tetapi keterbukaan dan kebenaran sejarah terus diungkap dan diluruskan. Di tahun 2016 Pengadilan Tinggi di Den Haag, memenangkan gugatan perempuan korban Peniwen di tahun 1949 ini.

Paling tidak permintaan maaf dari Perdana Menteri Belanda Mark Rutte ini, bisa menjadi teladan bagi pemimpin-pemimpin lainnya. Dengan lapang dada mengakui kesalahan dan meminta maaf atas sejarah kelam masa lalu. Begitu juga pemimpin negeri ini. Banyak korban trauma peristiwa masa lalu, terutama kaum minoritas. Daripada sekedar pers liris, mengutuk, mengecam, tanda tangan lalu stempel.

Meskipun kebohongan itu berlari secepat kilat,
satu waktu kebenaran itu akan menyusulnya .

 

*) ditulis untuk Penabur.id

Posting Komentar

0 Komentar