Valentine's Day; Antara Cinta, Wanita, dan Warna Pink

Hari ini, 14 Februari, dunia  menyebutnya sebagai Valentine’s Day. Namun di Indonesia terjemahannya menjadi Hari Kasih Sayang.

Momen ini kerap diperlambangkan dengan simbol cinta, gambar berbentuk hati, dan warna pink.

Apakah Valentine’s Day erat kaitannya dengan warna pink? Tidak juga! Ia hanya diasosiasikan dengan simbol “cinta”.

Dalam sejarahnya, penggunaan kata “pink” sebagai sebuah warna, baru dilakukan semenjak pertengahan tahun 1500-an. Ditengarai kata ini berasal dari Bahasa Belanda.

Warna “pink” ini diambil dari “Pinks” (nama latin Dianthus Plumarius); yang merupakan nama sejenis tanaman dengan bunga berwarna merah jambu. Bunga ini juga lebih dikenal dengan sebutan ‘Wild Pink’. Aslinya, ia berasal dari Austria, Kroasia, dan Slovenia. Namun kemudian banyak dibudidayakan di Italia, Jerman, dan Inggris.

 

Mengapa Pink?

Alasannya bisa bervariasi. Namun yang paling utama adalah terkait dari sifat warna dasar merah dan putih yang menghasilkan warna pink.

Warna merah dikaitkan dengan unsur gairah yang menggelora. Sementara putih, melambangkan unsur polos dan murni. Sehingga, penggunaan warna pink pada Valentine akan memunculkan cinta yang kuat namun lebih lembut.

Pink alias merah muda bisa dipecah lagi dalam kelompok warna pink muda dan tua. Masing-masing memiliki  makna berbeda.

Warna pink yang terang bisa mewakili keanggunan, kelembutan, kekaguman, dan persahabatan.

Warna pink tua lebih condong ke arah rasa terima kasih, penghargaan dan syukur.

 

Pink Hanya untuk Perempuan?

Kenyataannya “ya” untuk masa kini. Padahal faktanya, dulu warna pink malah dianggap sebagai warna yang maskulin. Di buku-buku dan katalog lama, pink adalah warna untuk anak kecil laki-laki.

Feminisasi warna pink terjadi saat dunia memasuki abad ke-19. Pria Barat mulai banyak mengenakan warna-warna gelap.

Hingga yang tersisa, warna pink kemudian seakan menjadi milik kaum wanita. Jadi buat pria penyuka warna ini, bisa dikatakan norak, banci, dst. Atau malah sebutan miring, “gay”.

 

Sekilas Sejarah

Ada beragam kisah soal awal mula perayaan Valentine’s Day. Di antaranya seperti ini.

1. Sebagai peringatan hari kematian atau penguburan St. Valentine (Valentinus), yang terjadi sekitar tahun 270 M.

2. Pada akhir abad ke-5, Paus Gelasius mendeklarasikan 14 Februari sebagai Hari Valentine.

3. Pempatan hari raya St. Valentine di tengah bulan Februari bertujuan untuk “mengkristenkan” perayaan pagan Lupercalia.

Lupercalia adalah festival kesuburan yang didedikasikan untuk Faunus, dewa pertanian Romawi, serta pendiri Romawi Romulus dan Remus.

4. Selama Abad Pertengahan, di Perancis dan Inggris punya keyakinan atau tradisi bahwa 14 Februari adalah awal musim kawin burung. Hal ini untuk menambahkan gagasan bahwa pertengahan bulan Februari cocok untuk memperingati “Hari Valentine” yang  seharusnya menjadi hari romantis.

5. Penyair Inggris Geoffrey Chaucer adalah orang pertama yang mencatat Hari St. Valentine sebagai hari perayaan romantis dalam puisinya tahun 1375 “Parliament of Foules”. “

Tulisan atau karya  ”Salam Valentine” ini sangat populer sejak Abad Pertengahan, meskipun tulisan tentang Valentine baru muncul setelah tahun 1400.

 

Refleksi

Terlepas dari apapun sejarah dan pernak-pernik yang mengitarinya, “kasih” adalah bahasa yang paling universal. Kasih adalah nafas hidup orang beriman, para murid Kristus, yang adalah Sumber Kasih Sejati.


*) dikumpulkan dari beragam sumber
*) gambar cover : Pixabay.com

Posting Komentar

0 Komentar