Generasi awal orang Jawa mengenal Firman Tuhan, bermacam cerita. Serasa pas sesuai zamannya, saat itu. Ini salah satu kisah para pencari elmu. Dimana ada elmu baru akan ditantangnya. Yang kalah akan menjadi murid dan yang menang akan menjadi gurunya.
Sekitar tahun 1840 an, Kasan Djariyo rela menjual rumahnya di Desa Kedung Turi, Sidoarjo untuk pindah ke Tragal (Kertorejo), Ngoro. Demi mendekatkan diri dengan guru barunya Coolen, seorang tuan tanah di Ngoro.
Orang Jawa pertama membaca (menafsir) Alkitab sangatlah sederhana. Jangankan seperti mahadewa hermeneutika dengan teori-teori jlimet. Yang kadang sampai merembet mencap denominasi sana sini “sesat.”
Karena saat itu bisa baca tulis saja adalah anugerah tak terkira. Menemukan bacaan Alkitab Jawa adalah mukjizat.
Awal perjumpaan Kasan Jariyo dengan Firman pun mengalir apa adanya. Keluguan dan “kemiskinan”-nya membuat ia menerima Yesus.
Sederhana saja ketika Ngoro, mendengar Coolen mengutip Kitab Matius, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” , Kasan Jariyo langsung menangis.
Terlebih ketika Coolen meminjamkan Injilnya (Cetakan Jawa, Brukner). Kasan Jariyo membacanya. Ia pun menangis sampai empat kali. Merasa bahwa Yesus disalib empat kali. Seperti tertulis di setiap Kitab Injil ditangannya itu.
Di Tragal itu pula namanya diganti Tosari. Ia merasa seperti embun. Sudah menemukan oase ditengah kekeringan hidupnya selama ini. 25 September 1844 ia dibaptis di Gereja Kristen Protestan Surabaya. Namanya menjadi Paulus Tosari.
Setelah itu perjalanan hidup kekristenannya semakin menjadi. Bukan saja figur Pemimpin Jemaat Jawa yang bisa menyatukan antara corak Emde dan Coolen. Ketika sarjana teologia Barat datang (Pendeta Zending), ia pun bisa bekerja sama dengan apik. Memadukan Barat dan Timur.
Ketika Pdt. JE Jallesma mengenalkan model Barat persembahan ARMBUS (lidah Jawa menyebut REMBOS), kotak kecil untuk diakonia janda dan orang miskin. Paulus Tosari mengusulkan diganti namanya menjadi Lumbung Miskin. Hasilnya, model lokal jauh lebih berlipat.
Kolaborasinya dengan Pdt J. Kruyt begitu juga. Bukan saja kemegahan bangunan fisik jemaat (Gereja), sistem adat istiadat Kristen Jawa masih kita kagumi sampai sekarang.
Saat itu banyak tulisan zending yang minor tentang ke-teologia-an orang Jawa. Tetapi tidak ada tentang Paulus Tosari.
“Karena itu, jarang ditemukan kritik tentang dia dalam tulisan para misionaris, yang umumnya sangat keras terhadap orang-orang Kristen Jawa,” tulis C. Guillot dalam buku Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa.
Seperti profil wong Jowo asli (padahal ia keturunan Madura) ajarannya sederhana tapi sangat bermakna. Lihatlah seperti RASA SEDJATI itu karya Paulus Tosari.
“Rasa sajati pinangkanipun saking Gusti Allah; tanpa rasa sajati manungsa boten leres wonten ngarsanipun Pangeran. Suraosing gesang ingkang nunggil kaliyan suraosing Gusti Allah punika kaurmatan lan pangabekti; saged langgeng wonteng ing pejah saha gesang, punapa malih begja utawi cilaka. Manungsa ingkang nampi dhawuhing Gusti Allah punika ingkang kanggenan rasa sajati; gadhah kamukten salabetipun nandhang nistha, saha kabegjan salebetipun nandhang sangsara, tindaking gesangipun boten miturut raosing hawa napsu.”
Terjemahan:
“Rasa Sejati berasal dari Tuhan; tanpa Rasa Sejati, manusia tidak benar di hadirat Tuhan. Arti hidup yang menyatu dengan Tuhan adalah kehormatan dan ibadah; bisa abadi dalam kematian dan kehidupan, apalagi keuntungan atau kemalangan. Manusia yang menerima Firman Allah adalah orang yang memiliki rasa sejati; Memiliki kemuliaan/ kejayaan dalam menjalani kemiskinan, juga kemuliaan dalam menjalani penderitaan, perbuatan dalam kehidupannya dengan tidak mengikuti hawa nafsu.”
Prof. Hendrik Kreamer sampai membawa rasa sejati ini ke negeri Belanda sebagai bahan disertasi Doktornya.
0 Komentar