Setelah bertemu dengan teman-teman wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna) dari Jakarta (31/3) saya tertahan di sebuah Gereja batu tua. Kebetulan Gereja ini persis di samping gedung pertemuan tempat kami sarasehan. Gereja yang diresmikan 3 Maret 1881 sangatlah menyedot perhatian saya. Bukan hanya karena usia Gereja ini yang hampir 1,5 abad, catatan panjang sejarah awal pribumi Jawa Kristen di Mojowarno ini sungguh luar biasa.
Memasuki Gereja seluas 15 X 28 m dengan gaya campuran Byzantyn – Gotis (Gaya Yunani Modern) sungguh mengejutkan. Pintu, jendela, bangku-bangku tempat duduk jemaat, mimbar, meja ukir, meja perjamuan kudus, 3 set lampu gantung tengah ruangan, 2 buah lampu samping mimbar, 2 lampu duduk muka mimbar sampai lampu tembok samping kiri dan kanan masih terawat berfungsi dari aslinya. Padahal usianya sudah lebih dari 100 tahun. Terlihat juga satu set gamelan di samping kanan mimbar dan organ di samping kirinya. Sangat terasa gedung Gereja ini bukan tinggalane londo (peninggalan Belanda). Ada sangkul sinangkul, kerjasama bersama antara pribumi Jawa, zending dan pemerintahan saat itu. Warisan atau kebudayaan Jawa terasa tercium kuat di tempat ini.
Lebih terheran lagi, saat itu didepan mimbar terpasang sebuah kelir wayang. Sepertinya akan ada acara pegelaran wayang, tebakku. Tanya sana–sini ternyata benar. Menarik ini, pagelaran wayang di dalam Gereja. Menariknya lagi, katanya dalangnya masih kelas satu SD. Merasa penasaran, saya pun mencari kejelasan sampai ke luar Gereja. Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman Gereja. Di mobil hitam itu tertulis jelas, GKJW Jemaat Bongsorejo. Satu keluarga lengkap berpakaian Jawa bergegas keluar. Kelihatannya saya kenal. Ternyata benar, itu Ibu Pendeta Tri Kridhaningsih, Pendeta di Bongsorejo. Bara Mega Rulianto, suami beliau menyapa duluan. Seraya mengenalkan kedua orang tuanya dan ketiga putra-putrinya. Setelah berbasa-basi sebentar saya merasa ada yang mengganjal, “Kok kelihatannya tegang Pak ?”
“Pak Muryo (Muryo Jayadi, Pendeta GKJW Mojowarno) seminggu lalu menelpon saya. Akan datang rombongan tamu dari Jakarta. Minta dicarikan dalang cilik untuk bisa menceritakan kekristenan ketika masuk ke Jawa Timur ini,” Bu Pendeta Krida mencoba menjelaskan.
“Anak saya Krisna Elsapadtra Sukma mencobanya, ini adalah tampilan perdananya,” sambungnya sambil melirik putranya itu.
Krisna, begitu nama panggilannya. Umurnya masih 7 tahun. Ia adalah siswa kelas 1 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Grogol 2 Diwek, Jombang. Ketika anak seusianya memegang gadget untuk membuka game online atau K-Pop disaat luang, ia memilih wayang. Kelihatannya pilihan Krisna tidak menarik di zamannya.
Dari YouTube ia menikmati dan belajar wayang. Dwi Rekso, kakeknya yang juga pecinta wayang selalu setia mendukung dan membimbingnya.
Saya mencoba lihat flyer acaranya. Lakonnya, Babat Wono Kracil. “Cerita cukup berat untuk seusia Krisna,” pikirku. Gelarannyapun di Gereja tua ini. Pusat sejarah spiritual Pribumi Jawa Hutan Kratjil. Gelaran perdana bagi Krisna pula. Sayapun memaklumi ketegangan ini.
Acara pun dimulai. Keteganggan itupun lambat laun mencair, ketika Ki Dalang cilik Krisna memulai aksinya. Walau tidak dalam pakem durasi dan sedikit ada masalah teknis tak berarti, pagelaran Krisna sungguh luar biasa. Sederhana saja, jujur saja, saya tidak akan bisa berdakwah lewat wayang seperti Krisna ini. Jangankan memainkan wayang, berbicara dan mendengar bahasa Jawa kadang gagal paham.
Padahal dunia pun sudah mengakuinya. Wayang juga Gamelan adalah salah satu warisan Mahakarya Dunia Tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) dari Indonesia. Adalah suatu yang mengenaskan bila kita sebagai pewaris asli warisan tersebut justru mengabaikan bahkan melupakannya. Anak semodel Krisna ini harus kita kampayekan. Bukan pansos, semuanya untuk mengispirasi genarasi muda penerus lainnya.
Anak-anak seperti Krisna ini patut kita apresiasi bersama setinggi-tingginyanya. Mereka perlu mendapat dukungan dan bimbingan dari semua pihak yang terkait. Karena merekalah generasi penjaga warisan bangsa tetap lestari. Penjaga kebudayaan nasional dari serbuan budaya asing.
Paling tidak, tokoh-tokoh luar biasa pendiri Gereja di Jawa Timur ini tersenyum bangga. Terlebih tokoh para mantan dalang, seperti Kyai Paulus Tosari, Kyai Wiryoguno, Kyai Kunto, Kyai Kertoguno, Matius Aniep dan seterusnya.
0 Komentar