Semangat Perjuangan Kartini dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

“Kita hanya bisa mengubah diri kita apabila diri kita sendiri yang bergerak”.

RA Kartini

 

Setelah berjuang  hampir 6 tahun, pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang diwarnai banyak dinamika akhirnya disahkan. Dalam sidang paripurna ke-19 DPR RI di masa persidangan IV Tahun 2021-2022, Selasa (12/4) RUU ini akhirnya telah disahkan menjadi Undang-Undang.

Sebenarnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merumuskan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimantion Against Women) sebagai payung hukum perlindungan perempuan. Indonesia sudah meratifikasi (bukti persetujuan) CEDAW, melalui UU Nomor 7 tahun 1984. Tetapi kekerasan perempuan semakin marak saja, terlebih dalam hal penegakan hukumnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Nintang Darmawati mengatakan bahwa dengan adanya UU TPKS merupakan landasan yang utuh, adil, dan formil bagi para korban kekerasan seksual. Dengan kata lain, UU ini mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual.

Paling tidak ada 10 poin penting yang diatur dalam UU TPKS.

  1. Setiap perilaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non fisik. Hukuman yang diberikan kepada pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta.
  1. Melindungi korban revenge porn Pada Pasal 4 ayat 1 UU TPKS, disebutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kotrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Selain itu juga pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Untuk kekerasan seksual berbasik elektronik ini termasuk revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam kepada korban. Dengan adanya UU TPKS ini, korban revenge porn dilindungi oleh hukum.
  1. Pemaksaan hubungan seksual bisa dikenai denda dan pidana Pada Pasal 6, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dipidana karena pemaksaan sterilisasi dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp 200 juta.
  1. Pemaksaan perkawinan Kemudian, UU ini juga mengatur ketentuan perihal jerat pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan, termasuk di dalamnya pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan. Ketentuan pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan tertuang di dalam Pasal 10 UU TPKS. Pada Pasal 10 Ayat (1) UU TPKS dijelaskan, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan. Pelaku bisa terancam pidana paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
  1. Pelaku tidak hanya dikenai pidana dan denda Dalam Pasal 11, dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan pidana denda, pelaku TPKS dapat dijatihi pidana tambahan berupa: Pencabutan hak asuh anak atau pengampunan Pengumuman identitas pelaku Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau Pembayaran Restitusi Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian material atau immaterial yang diderita Korban atau ahli warisnya.
  2. Korporasi yang melakukan TPKS bisa dikenai pidana dan denda Dalam Pasal 13, dijelaskan, pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp 200 juta sampai Rp 2 miliar. Selain itu, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: Pembayaran Restitusi Pembiayaan pelatihan kerja Perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS Pencabutan izin tertentu penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korperasi Pembubaran korporasi.
  1. Keterangan saksi/korban dan 1 alat bukti sudah cukup menentukan terdakwa Dalam Pasal 20, disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan 1 alat bukti yang sah sudah dapat menentukan seseorang menjadi terdakwa. Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS yakni: Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Korban berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan Pada Pasal 24, disebutkan, korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau Ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana Sebagai informasi, jika pelaku tidak mampu membayar Restitusi, maka pelaku dikenai pidana penjara pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
  1. Korban TPKS berhak mendapatkan pendampingan Dalam UU TPKS Pasal 27 sampai Pasal 29, korban atau setiap orang yang mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD PPAD, atau lembaga penyedia layanan, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Nantinya, UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepada kepolisian.
  1. Tidak ada restorative justice.

Dikutip dari Kompas.com, (23/2/2022), penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan pendekatan restorative justice. Pendekatan restorative justice sendiri merupakan penyelesaian suatu perkara dengan menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.

“Dalam RUU itu, penyelesaian kekerasan tindak pidana seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice, tidak boleh,” ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej. Ketentuan tersebut, menurut Eddy guna menghindari upaya-upaya penyelesaian dengan uang. Menilik dari beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi, pelaku secara ekonomi lebih mampu daripada korban. Kasus tersebut pun selesai dengan pemberian sejumlah uang tanpa adanya proses hukum.

Dalam rangka pengesahan UU ini, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dalam siaran pers nya menyampaikan apresiasi yang tinggi dan mendalam kepada DPR dan Pemerintah karena sudah menyelesaikan dan mengesahkan UU tersebut hari ini. Terima kasih juga kepada Koalisi Masyarakat Sipil, di mana PGI ikut serta di dalamnya, atas komitmen, kontribusi, dan konsistensinya dalam mengawal proses pembuatan UU ini sejak awal sampai akhirnya disahkan.

PGI berkomitmen untuk terus mengawal proses ke depan dalam rangka implementasi UU ini bersama dengan elemen masyarakat sipil lainnya. PGI juga akan ikut serta membantu Pemerintah untuk mensosialisasikan UU ini agar makin dikenal oleh masyarakat luas.

 

Foto : redaksi, kemenpppa.go.id

Posting Komentar

0 Komentar