Perang, apapun alasannya, masalah kemanusiaan akan selalu menjadi isu yang paling krusial. Bukan cuma soal kehancuran secara fisik bangunan, tapi juga soal taruhan nyawa di antara mereka yang terlibat.
Sejak 24 Februari 2022 lalu. Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukan militernya untuk melancarkan serangan berskala penuh ke Ukraina. Kejadian yang juga disebut “invasi militer” ini menjadi titik awal perang dua negeri yang asalnya satu rumpun.
Nah kalau melihat dari sisi agama yang dianut kedua negara yang sedang berseteru ini, mereka sebenarnya secara mayoritas adalah pemeluk Kristen Ortodoks. Di Rusia angkanya 68 % (ditambah Kristen/Katolik lainnya 3 %), sedangkan di Ukraina mencapai 78 %.
Gereja Ortodoks di Ukraina berdiri sendiri pada 2018. Menandai pemisahan Kristen Ortodoks di Ukraina dari patriarkat Moskow yang sebelumnya berjalan bersama selama satu abad lebih.
Mengapa Tetap Perang?
Bisa jadi ini juga pertanyaan besar. Sebagai sesama mayoritas penganut Kristen Ortodoks, tapi kedua negeara ini tetap berperang. Lalu sikap gereja sendiri bagaimana? Tidakkah mereka bisa mengambil peran profetis (suara kenabian) dalam mencegah perang berkepanjangan ini?
Mencari jawab ini memang tidaklah mudah. Perang dua negara bertetangga ini jelas bukan dipicu oleh faktor agama. Ada masalah geopolitik yang tidak bisa dicampuradukkan begitu saja.
Martin Lukito Sinaga, anggota Komisi Hubungan Antaragama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) punya analisa yang cukup menarik untuk disimak. Dalam artikelnya di satuharapan.com, ia menuliskan proses yang tidak mudah bagi gereja ortodoks dalam upayanya menciptakan perdamaian bagi Rusia dan Ukraina.
“Angkatlah suaramu demi saudara-saudara kita yang menderita, yang hampir semuanya adalah anggota gereja Ortodoks yang setia,” seru Patriark Kirill, pemimpin tertinggi gereja Ortodoks Rusia.
Ia berharap agar DGD (Dewan Gereja se-Dunia) juga bisa tetap menjadi platform untuk dialog yang tidak bias, bebas dari preferensi politik dan pendekatan sepihak. Artinya tidak memihak kepada salah satu pihak yang sedang bertikai.
Sementara itu, seperti dilaporkan melalui christianitytoday.com, korban perang di Ukrania yang banyak mengalami trauma akibat kehilangan anggota keluarga, kini merasa lebih butuh banyak Alkitab. Gereja-gereja di Ukraina menjadi jalam penyembuhan trauma berbasis Kitab Suci itu.
Program ini memungkinkan para pemimpin komunitas membimbing kelompok-kelompok kecil dari jemaat untuk menjalani proses pemulihan (trauma healing). Bahkan Ukrainan Bible Society kini mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan akan sumber materi dan pelatihan dari program ini.
Di tengah berkecamuknya perang yang terjadi ini, ada baiknya umat kristiani untuk juga mau terlibat dalam gerakan syafaat (doa) ini. Jelasnya, pesan Injil yang mewartakan Kabar Baik tetap harus digemakan. Kepada dunia dan kepada mereka yang sedang terluka dan berduka:
Bahwa Firman Tuhan dapat mendamaikan musuh, mengusir keputusasaan, dan menyembuhkan hati yang menderita. Sebagai milik Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja, mereka mampu untuk tetap teguh dalam memberitakan Injil, membangun kerajaan Allah, dan menghadirkan shalom di manapun mereka ditempatkan-Nya.
0 Komentar