Dewan Geredja-geredja di Indonesia (DGI)


Tanggal 25 Mei 1950 Dewan Geredja-geredja di Indonesia (DGI) dibentuk. Pembentukan DGI ini disaat berlangsungnya Konferensi Gereja yang diadakan di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang Sekolah Tinggi Teologi Jakarta) tanggal 21-28 Mei 1950. Dalam konferensi itu yang hadir dari utusan Gereja :

  1. HKBP
  2. GBKP
  3. Gereja Methodist Sumatra
  4. BNKP
  5. Gereja Kalimantan Evengelis
  6. GPIB
  7. Gereformeerde Kerken in Indonesia
  8. GKP
  9. Gereja Kristen Sekitar Muria
  10. Gereja Kristen Jawa Tengah
  11. Gereja Kristen Djawi Wetan
  12. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Barat
  13. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Tengah
  14. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Timur
  15. Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jakarta
  16. Gereja Kristen Protestan di Bali
  17. Gereja Kristen Sumba
  18. Gereja Masehi Injili Timor
  19. Gereja Masehi Injili Sangihe & Talaud
  20. Gereja Masehi Injili Minahasa
  21. Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow
  22. GKST
  23. GKTR
  24. GKTM
  25. GKST
  26. GKSS Makassar
  27. GMIH
  28. Gereja Protestan Maluku
  29. Gereja Masehi Injili Irian
  30. Gereja Protestan di Indonesia

Mengapa tanggal 25 dipilih sebagai tanggal pembentukan DGI ?

Karena pada tanggal 25 Mei 1950 itu, seluruh peserta konferensi sepakat menyetujui Aggaran Dasar DGI. Karenanya tanggal itu ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dalam sebuah Manifes Pembentoekan DGI :

“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan geredja-geredja di Indonesia, yang soedah ditetapkan oleh Sidang pada tanggal 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa dewan Geredja-geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini”.

Seiring dengan perkembangan dan semangat kebersamaan itulah yang mendasari perubahan nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagaimana diputuskan pada Sidang Raya X di Ambon tahun 1984. Perubahan nama itu terjadi atas pertimbangan: “bahwa persekutuan lebih bersifat gerejawi dibanding dengan perkataan dewan, sebab dewan lebih mengesankan kepelbagaian dalam kebersamaan antara gereja-gereja anggota, sedangkan persekutuan lebih menunjukkan keterikatan lahir-batin antara gereja-gereja dalam proses menuju keesaan”.

Dengan demikian, pergantian nama itu mengandung perubahan makna. Persekutuan merupakan istilah Alkitab yang menyentuh segi eksistensial, internal dan spiritual dari kebersamaan umat Kristiani yang satu. Sesuai dengan pengakuan PGI bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia serta Kepala Gereja, sumber Kebenaran dan Hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja sesuai dengan Firman Allah, maka sejak berdirinya PGI, gereja-gereja berkomitmen untuk menyatakan satu gereja yang esa di Indonesia. Keesaan itu ditunjukkan melalui kebersamaan dalam kesaksian dan pelayanan, persekutuan, saling menolong dan membantu. Oleh karena itu PGI tidaklah bermaksud untuk menyeragamkan gereja-gereja di Indonesia, dan PGI juga bukanlah hendak menjadi suatu super church yang mendominasi gereja-gereja anggota, melainkan keesaan yang dimaksud adalah keesaan dalam tindakan, artinya keesaan yang makin lama makin bertumbuh dan berkembang ketika melakukan kegiatan-kegiatan bersama dalam visi dan misi bersama.

Jalan panjang menuju keesaan Gereja

Sampai tahun 1835 di Hindia Belanda (Indonesia) masih belum terdengar gerakan oikumenis. Bisa jadi karena saat itu Gereja Protestan di Indonesia hanya satu (perkecualian : Jemaat Lutheran di Batavia). Sehingga keberagaman Gereja masih belum ada. Setelah lembaga penginjilan (Zending) datang kepelbagaian Gereja mulai tampak.

Sebelum perang dunia II usaha kerjasama pembentukan dewan zending mulai ada. Beberapa lembaga zending kerap melakukan pertemuan. Masa kebangkitan nasionalisme tahun 1920 berjalan beriring dengan kesadaran oikumene. Terlebih ketika masa penjajahan Jepang, banyaknya Gereja yang menderita menimbulkan rasa kebersamaan muncul.

Setelah Perang Dunia berakhir muncul usaha pembentukan Dewan Gereja-gereja. Bukan lagi pembentukan Dewan Gereja-gereja dan Zending. Lalu terbentuklah Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia (DPG), berpusat di Yogyakarta (Mei 1946). Kemudian Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Keristen (MOBGK), berpusat di Makasar (9 Maret 1947) dan Geredja-geredja bagian Sumatera (awal tahun 1949), di Medan.

Adanya serangkaian Konferensi Kristen International di tahun 1947 – 1948, termasuk Sidang Raya I Dewan Gereja-gereja Sedunia di Amsterdam semakin melecut Gereja-gereja di Indonesia.

Segeralah dibentuk panitia perancang yang bertugas untuk menyiapkan pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia. Pada tanggal 6-13 November 1949 diadakan: Konferensi Persiapan Dewan Gereja-gereja di Indonesia di Jakarta.     Konferensi persiapan Dewan Gereja-gereja di Indonesia ini menghasilkan kesepakatan antara lain :

  1. Menyatakan dengan rasa sedih bahwa perpisahan dan perpecahan Gereja adalah dosa yang disebabkan oleh ketidaktaatan kepada Kehendak Allah dan berjanji untuk mencari dan mengusahakan keesaan yang benar di dalam Kristus.
  2. Segera membentuk Dewan Gereja-gereja di Indonesia sebagai tempat permusyawaratan dan usaha bersama. Dewan ini hendaknya dipandang sebagai jembatan untuk tiba kepada keesaan Gereja-gereja di Indonesia.
  3. Konferensi menolak konsep mengenai Dewan Kristen Nasional yang akan membuka keanggotaan penuh bagi badan-badan pekabar Injil dan lembaga-lembaga Kristen lainnya; yang akan didirikan adalah Dewan Gereja-gereja yang keanggotanya hanya terbuka bagi Gereja-gereja di Indonesia.

 

Dikarenakan keadaan politik dalam negeri tidak kondusif (Agresi Militer) pembentukan Dewan Gereja-geraja di Indonesia ini menjadi tertunda.

Dan akhirnya Konferensi Gereja-gereja dapat dilaksanakan di Sekolah Theologia Tinggi Jakarta tanggal 21-28 Mei 1950.

Posting Komentar

0 Komentar