Memaknai Kebhinnekaan

Kebhinnekaan adalah buah kreativitas tanpa batas dari Sang Pencipta. Tugas kita adalah mengagumi, menyesuaikan diri dan mengelolahnya bukan meniadakannya. Dunia sebagai rumah bersama (Oikoumene) tak dibatasi hanya di ranah penyatuan Gereja maupun kebutuhan hidup berdampingan antar umat manusia saja. Gerakan oikumene dalam kebhinekaan harus beranjak dari gerakan yang Gereja sentris maupun antroposentris menuju pada perjuangan keutuhan ciptaan.

Semesta sebagai ruang kehidupan. Manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa ruang kehidupan. Karya Tuhan dalam sejarah adalah karya dalam ruang kehidupan. Tanpa semesta tak aka nada manusia. Allah hadir dan menjadi bagian dalam ruang kehidupan melalui Yesus Kristus.

Demikian paparan dari  Pdt. Andri Purnawan, M.Ts pada Sarasehan Moderasi Hidup Beragama yang digelar di Gereja Katolik Santo Stefanus, Surabaya (8/5).

Ruang hidup berperspektif  dua yaitu primordial dan universal. Kita tidak bisa meninggalkan lokalitas sebagai ruang asali disamping dunia sebagai ruang bersama.

Lokalitas sebagai ruang asali adalah hal penting untuk dirawat. Konteks lokal-primodial menunjuk pada dari mana kita berasal, dimana kita lahir, dididik, dibesarkan dan diasuh. Di sanalah kita belajar dan menemukan identitas asali kita.

“Ruang hidup bukan hanya soal alamat tempat tinggal kita, melainkan asal kehidupan kita. Tempat kita dilahirkan oleh Bapa Sang Pencipta melalui ibu pertiwi, diasup dan diasuh oleh tanah kelahiran kita. Mereka yang tidak menghayati lokalitasnya dan kehidupan asalinya tak akan pernah mampu menjadi warga Negara yang baik,” ujar Pendeta Andri yang juga menjabat sebagai Ketua 1 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Timur ini.

Semuanya ini mempunyai tantangannya. Ruang hidup asali makin kabur, dunia tanpa sekat, manusia kehilangan keseimbangan relasi dengan ruang hidup asalinya. Kehidupan lokalpun tergusur, penduduknya kemudian semburat ke berbagai wilayah, manusia tercerabut dari ibu pertiwi, budaya lokal punah, tak terdengar lagi tembang lokal, tak terlihat lagi tarian lokal, tak terdengar lagi dongeng lokal, tak dimengerti lagi bahasa lokal dan seterusnya. Semua tradisi yang sebelumnya lahir dan lestari turut punah bersama ruang yang terjajah. Lokalitas kita semakin tersisih oleh hegemoni budaya popular, kapitalisme, westernisasi, arabisasi dan “isasi-isasi” serta “isme-isme” lain yang biasanya menunggangi jargon kemajuan peradaban dan kemurnian dogma serta sikap keagamaan.

Untuk itu kita perlu menjembatani, bahkan menjangkarkan kembali masyarakat yang semakin tercerabut dari lokalitas dan primodialitas ruang hidupnya – tanpa terjebak dalam lokalitas dan primodialisme (“isme” akan cenderung menihilkan yang lain).

Dunia sebagai ruang bersama. Kita adalah bagian integral dari kehidupan (macro-organism). Manusia tak akan menjadi manusia sejati tanpa Allah, bahkan menjadi inactive dan inauthentic tanpa ciptaan lain dan tanah. Hidup bersama dalam harmoni bersama seluruh ciptaan adalah dasar eksistensi manusia yang sejati. (Wati Longchar, 2002, p.18).

Hidup dalam kebhinekaan bukan saja butuh kesediaan berdampingan dengan orang lain; kita beroleh mandat mengadvokasi alam semesta yang menjadi ibu aneka ragam kehidupan.

Iman bukan saja tentang pengalaman personal manusia dengan Tuhan, namun harus dilihat sebagai kebersamaan dengan Tuhan yang hadir  dan lahir di ibu pertiwi. Gereja dipanggil untuk terlibat dalam misi kosmik Allah: membebaskan semesta sebagai rumah Allah dan mentransformasi seluruh ciptaan menuju langit baru dan bumi baru. (Lilburne, A Sense of Place, p. 105).

Penebusan Yesus seharusnya tak hanya dihayati sebagai penebusan atas dosa manusia, namun juga perlu dihayati sebagai penebusan atas ciptaan yang akan mencapai kesempurnaannya dalam langit baru dan bumi baru (Wahyu 21). Kristus tidak hanya bekerja di dalam hati orang-orang percaya, sehingga kita juga ditantang untuk melihat Kristus yang berinkarnasi dan hidup berelasi secara total dengan ekosistem. Kristus hadir dalam seluruh ciptaan. Sebab itulah seluruh ciptaan telah diperdamaikan oleh Kristus. Inkarnasi Allah dalam Kristus merepresentasikan Allah yang berkenan hadir dalam ruang yang terbatas.

Kehadiran Yesus telah mengubah wajah ruang kehidupan. Gereja adalah tubuh Kristus namun juga sekaligus bagian dari dunia.

Penyeragaman adalah tindakan perusakan terhadap kreativitas ilahi – yang mencipta dunia dalam kepelbagaian. Persatuan jelas berbeda dengan persekongkolan, hasrat berapi-api untuk menggapai kekuasaan, menepuk dada dalam percaturan politik bangsa-bangsa. Persatuan adalah harmoni dalam kepelbagaian.

Tiap entitas sesungguhnya penting dan memainkan peran vital, meski secara kasat mata ia tak dominan. Bagaikan tubuh dengan 76 organ dan 10 triliun sel bekerjasama secara harmonis dan sitematis, demikianlah Indonesia yang punya lebih dari  17.000 pulau, 1.340 suku bangsa,  lebih dari 1211 bahasa daerah, dan kekayaan keragaman lainnya.

Tantangan terbesar demokrasi kerakyatan yang mengedepankan hikmat ada dua: pertama, adalah dikotomi mayoritas-minoritas, dan yang kedua adalah demokrasi oligarki.

“Mari peluk Kebhinekaan di ruang kehidupan bersama kita !”  tutup Pendeta Jemaat GKI Darmo Satelit Surabaya ini.

 

Posting Komentar

0 Komentar