Warga kota Surabaya pada dasarwarsa 1960-1970-an pasti kenal dengan nama GKJW Gubeng. Namun demikian, gereja yang berlokasi di Jl. Prof. Dr. Moestopo 25-27 ini nama resminya adalah GKJW Jemaat Surabaya.
Di era tersebut, warga gereja jumlah totalnya lebih dari 10 ribu orang. Sementara, pemuda yang aktif bisa lebih dari 1.000 jika berkumpul di tempat yang sama.
Walaupun senyatanya mereka itu bertempat tinggal di hampir berbagai penjuru kota, tak menyurutkan semangat untuk bersatu. Bersekutu dan melayani di gereja induk yang sama. Jarak bukan jadi penghalang dalam membangun kebersamaan.
Namun demikian, gagasan mempertahankan “Jemaat Surabaya Raya” ini pada akhirnya tak jadi berlanjut. Egoisme tak perlu dipertahankan. Sebab dengan melakukan pembagian wilayah, pelayanan dapat lebih terfokus.
Pembagian wilayah pelayanan yang disebut “Blok” itu digagas sejak 1961. Namun baru terealisasi pada 1964. Jadi sejak saat itu, GKJW Gubeng memiliki 9 “cabang” gereja.
Dari ke-9 Blok itu, akhirnya mereka ‘berhasil’ menjadi Jemaat dewasa yang mandiri. Di antaranya:
- GKJW Jemaat Tanjung Perak (Blok I), dewasa pada 1975
- GKJW Jemaat Ngagel (Blok IV), dewasa pada 1980
- GKJW Jemaat Darmo (Blok VII dan IX), dewasa pada 1983
- GKJW Jemaat Simomulyo (d.h. Sawahan; Blok II), dewasa pada 1984
Teladan Semangat
Pada Sabtu, 18 Juni 2022, para pemuda angkatan ‘70-an dari 9 Blok tadi rupanya punya gawe. Merealisasikan rasa rindu yag tertunda.
Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Pemuda Angkatan ‘70 ini kembali mengadakan reuni. Bernostalgia lagi di tempat yang sama. Mengenang indahnya kebersamaan yang telah dijalin sebelum mereka berpencar di Blok masing-masing.
Reuni kali ini adalah yang kedua, sejak diadakan pertama tahun 2017 lalu. Sebenarnya penyelenggaraan ini direncanakan di luar kota. Namun karena dampak pandemi Covid-19, baru bisa terlaksana di tahun 2022 ini.
Mundurnya waktu pelaksanaan ini ternyata membawa sukacita sendiri bagi panitia. “Justru saya baru tahu kalau di tahun 2022 ini rupanya Jemaat juga akan memperingati ulang tahun ke-175. Jadi saya kira reuni yang diadakan saat ini juga menjadi momentum yang bagus. Tuhan turut campur tangan atas pertemuan ini.” kata Iman Wimbadi, panitia yang turut menggagas penerbitan buku “Kiprah Pemuda Era 1960-1990” hasil kolaborasi dengan Tim Penabur sebagai kado khusus buat gereja.
Dalam kesempatan ini, ibadah syukur juga dilayani oleh anggota pemuda angkatan 70-an sendiri yang menjadi pendeta. “Saya panggil Mas dan Mbak serta adik-adik saja, ya…” sapa Pdt. Em. Hari Purwantoko, S.Th. di awal pengantar kotbah. Mengingat kembali bahwa mereka semua adalah sebaya pada masanya.
Sebagaimana tema yang diangkat, “”MENANAM, MENYIRAM, MEMELIHARA dan TUHAN YANG MENUMBUHKAN.” Pendeta yang pada waktu itu berdomisili di Blok II ini mengajak di hadapan sekitar 100 orang anggota paguyuban serta undangan untuk tetap semangat walau usia makin bertambah.
Ibarat tanaman, “Dalam usia yang sudah tua ini, kita masih masih bisa menyiram tanaman yang sudah bertumbuh itu. Kepada anak-anak kita sebagai generasi penerus. Agar mereka tetap ingat pada gerejanya sendiri. Jangan hanya sekadar menanam (lantas membiarkannya), namun juga memeliharanya sebaik mungkin. Biar bertambah usia namun juga tetap menjadi keteladanan; dengan memberi buah yang baik.”
Warisan Sejarah
Pada kesempatan berbahagia ini, panitia secara simbolis memberikan buku kenangan terbitan bersama. Berisikan sejumlah catatan dan dokumentasi sejarah kiprah para pemuda GKJW Surabaya dari tempo dulu hingga kekinian kepada Edi Prasetyaningsih, S.Th, sebagai pendeta Jemaat saat ini. Di samping uang persembahan acara yang terkumpul sebagai sumbangan dana renovasi Pondok Kasih (gedung multifungsi) yang tengah dikerjakan saat ini.
Sebagai penutup, peserta juga melakukan sesi foto dan ramah tamah. Juga tak lupa bergembira bersama melalui tembang-tembang lagu yang disertai dengan dance (dansa dan olah gerak) lainnya.
Selamat bersukacita…
0 Komentar