Politisasi Agama Picu Radikalisme & Terorisme

“Radikalisme  dan terorisme itu akar masalahnya adalah ideologi. Politisasi agama adalah pemicu utama radikalisme dan terorisme. Dan itu harus ditiadakan,” kata Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid ketika menjadi narasumber dalam acara Diskusi Publik 2022 bertema Melawan Kelompok Radikal dalam Dinamika Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2024  yang diselenggarakan Yayasan Tri Bhakti Pratista di  Purwokerto, Jumat (3/6).

Selanjutnya Nurwakhid menjelaskan, apapun argumennya atau alasannya, agama adalah Firman Tuhan, sehingga harus menjadi sumber inspirasi untuk kemanfaatan semua pihak. Indonesia adalah negara yang sangat majemuk yang tentunya memiliki potensi yang sangat besar untuk terjadinya konflik. Untuk itu masyarakat harus berhati-hati dan tak gampang terpolitisasi.  Di sinilah peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Dimana Pancasila sebagai dasar negara yang dirumuskan para pendiri bangsa telah terbukti mampu dalam menyatukan bangsa Indonesia dan menghalau berbagai macam tantangan yang sebelumnya dapat memecah belah bangsa.

“Ayo glorifikasi dan bangkit melawan radikalisme. Karena ini lah penyebab konflik-konflik yang ada. Setelah kami riset, pola terjadinya konflik di negara Muslim itu diawali dengan masifnya radikalisme, kemudian bergabung dengan kelompok anti pemerintah, dan intervensi asing, seperti di Suriah dan negara-negara lainnya,” ujarnya sembari mengajak terutama generasi muda untuk bijak dalam mengunakan media sosial.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan lembaganya memantau konten radikal di media sosial. BNPT melihat selama masa pandemi, angka-angka yang muncul di dunia maya semakin signifikan.

“Social media hari ini hampir 50% berisi bagian dari semangat intoleransi, semangat untuk melakukan merendahkan martabat manusia, dan tempat menyebarluaskan rencana-rencana yang mengarah ke kejahatan,” kata Boy beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui media sosial kerap disalahgunakan untuk menyebarluaskan berita bohong, ujaran kebencian dan narasi radikal yang dapat melahirkan pelaku tunggal (lone wolf) dalam terorisme.

Fenomena tersebut harus menjadi perhatian seluruh kalangan masyarakat mengingat saat ini pengguna media sosial di Indonesia mencapai 191 juta orang. Angka itu meningkat 12,35 persen, dan didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme terus mengajak generasi  milenial untuk menyebarkan atau mengampanyekan narasi-narasi positif di media sosial. Melakukan kontra narasi melalui media sosial merupakan upaya yang efektif. Kontra narasi perlu terus dilakukan bukan hanya oleh generasi milenial saja,  kolaborasi seluruh unsur masyarakat dibutuhkan, Untuk menjaga dan merawat NKRI ini.

 

foto : humas bnpt

Posting Komentar

0 Komentar