Raden Adipati Ario Poedjo adalah Bupati Probolinggo ke 18. Dilantik 23 Agustus 1930. Pengangkatan bupati yang menimbulkan kegaduhan. Karena ia seorang Kristen. Saat itu jabatan tertinggi orang Kristen paling ditingkat wedana (pembantu Bupati). Poedjo adalah bupati Kristen pertama di Jawa. Hebatnya lagi ia dari keluarga biasa. Tidak ada darah atau trah bupati.
Walau tidak ada demo berjilid-jilid, nada protes penolakan nyaring terdengar. Dari Probolinggo sampai anggota Volksraad di Batavia pun mempertanyakan. Penduduk mayoritas Muslim dipimpin seorang Kristen. Perdebatan panjang kewenangan jabatan pemimpin daerah dengan agama dibahas.
Padahal sebelumnya Poedjo adalah seorang Patih (regentschapspatih) di Jember. Riwayatnya disana sudah teruji dan dilihat. Seorang patih yang bijaksana. Bertanggungjawab mengayomi semua golongan penduduknya. 23 Agustus 1928 Poedjo mendapatkan penghargaan atas kesetiaan dan jasanya. Pilihannya dua, bintang emas atau gelar kebangsawanan. Ia memilih bintang emas kecil (kleine gold stars). Tidak ada kegaduhan disana (Jember).
Kegaduhan ini berakhir berkat Gubernur Jawa Timur, Ch. O van der Plas. Ia mengangkat seorang “Kyai Penghulu”. Sehingga urusan agama (Islam) diluar kewenangan bupati. Pengangkatan bupati ini membuat Poedjo berhak mendapatkan gelar bangsawan resmi, Raden Tumenggung. Karena prestasinya juga, tahun 1936 mendapat gelar Raden Adipati Ario / RAA. Gelar pribumi tertinggi lewat keputusan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Dari berita koran De Indische Courant tanggal 30 Agustus 1930 kita dapat mengetahui riwayat hidupnya :
Poedjo lahir di Kertorejo, Jombang tanggal 4 Agustus 1890. Putra dari Gadroen, seorang guru sekolah misionaris Kristen di Mojowarno. Setelah menyelesaikan bagian ke-2 Sekolah Pelatihan Pegawai Negeri Sipil Pribumi, ia diangkat menjadi penulis di Krian, Sidoarjo 15 November 1909. Pada akhir April 1910 ia menjadi penulis patih di Sidoardjo. Akhir Maret 1912 diangkat sebagai mantri polisi di Babat, Lamongan. Akhir tahun 1914 ia ditugaskan sebagai juru tulis asisten residen Lamongan.
30 Agustus 1918 tugas belajar di Sekolah Tata Usaha Batavia. Setelah lulus ditempatkan sebagai asisten wedono di Bangsal, Mojokerto pada bulan Agustus 1920. Januari 1922 ia diangkat sebagai wedono Krian, Sidoarjo. 31 Maret 1926, untuk sementara ditugasi sebagai patih merdeka di Jember. Akhir Desember, pengangkatan definitifnya sebagai patih penuh.
Disamping sosok pemimpin yang tenang profil Jawa yang halus Poedjo juga cerdas. Bahasa Belanda, Jerman dan Inggris ia kuasai. Tak heran di tahun 1939 ia terpilih study di negeri Belanda, sekaligus penghargaan untuk bertemu dengan Ratu Belanda. Sayangnya Jerman menyerbu Belanda, sehingga rencana itu gagal.
15 Maret 1942 Jepang datang, kepemimpinan Poedjo diuji. Ia menolak penyambutan tentara Jepang dibatas kota. Asisten Residen nya ditangkap karena menolak bersumpah setia kepada Kolonel Jepang.
“Hari-hari yang berat dalam hidupku. Jika aku dipaksa, aku akan menolaknya juga”, tantang Poedjo.
Ternyata tentara Jepang itu hanya bertanya, apakah Poedjo sanggup menjaga ketertiban dan keamanan Probolinggo ?
Setelah itu tentara Jepang meminta semua warga kulit putih didata. Pendataan yang membayar. Laki-laki segera pergi. Panti – panti asuhan penuh sesak wanita dan anak-anak. Seorang nenek tua indo terlihat ketakutan, Bupati Poedjo mendekat. Ternyata ia tidak mempunyai uang membayar. Sambil memelas ia menawarkan lemarinya. Poedjo membantu dengan uang pribadinya.
Bupati Poedjo tidak nyaman dengan Jepang. Kedatangannya kerap membuat sengsara rakyatnya.
“Saya mulai tidak tahan lagi. Jika dipecat bersedia. Jika mereka mengeksekusi saya siap mati”, Poedjo berani menentang.
Seperti menolak pendoponya sebagai tempat interniran. Menolak penduduknya untuk menanam Jarak. Beberapa kali ia dipanggil ke markas Jepang di Malang. Puncaknya 8 Maret 1943, tentara Jepang menyuruh mengadakan perayaan. Hari itu sebagai peringatan “pembebasan Jawa”. Poedjo menghias pendoponya dengan warna merah, putih, biru dan jingga. Akhirnya Bupati Poedjo, patih dan sekretarisnya ditangkap.
Poedjo dibawah ke Batavia. Dieksekusi tembak mati di Ancol. Sumber tulisan lainnya, ia dipenggal kepalanya. Dikubur bersama lainnya dalam satu liang. Di Verzamegraf Antjol.
Foto : Oorlog Graven Stichting /
War Graves Foundation.
0 Komentar