Demikian sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika menyambut peserta rakernas pengurus Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Wilayah (PGIW)/Sinode Gereja Am (SAG) di di Bangsal Srimanganti, Keraton Yogyakarta, pada Jumat (12/8/2022).
Merujuk Benedict Anderson tentang “the imagined community”, Sri Sultan berbicara tentang bangsa sebagai sebuah komunitas imajiner. Sebelum kedatangan Belanda, masing-masing kepala suku di Nusantara tidak membayangkan diri mereka sebagai bagian dari suatu kesatuan organik. Suku-suku itu memiliki relasi perdagangan antaretnis yang juga membawa misi agama dan ditopang oleh pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Suku-suku yang berdiri sendiri-sendiri itu kemudian berusaha menjadi suatu bangsa imajiner dengan moto Bhinneka Tunggal Ika. Faktor agama dan bahasa itu telah turut merintis komunitas imajiner tersebut.
Proses integrasi berbagai budaya adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara. Beliau mengatakan: “Kita semua sepakat bahwa peradaban Indonesia baru adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan, dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat dengan pembangunan yang bukan lagi mitos tetapi maujud menjadi etos bangsa yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kiritis dan berkelanjutan”.
Dalam tema perayaan HUT RI ke-77 ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X menekankan pentingnya kerja sama sebagai syarat utama bangsa ini bangkit kembali dari dampak krisis berlapis. The energy of Indonesia. Kemauan bekerja sama bahu membahu membangun bangsa. Energi keragaman itu yang membuat Indonesia ada. Dan bangsa ini akan tetap berdiri kalau energi keragaman itu terjaga. Tak boleh ada yang merasa terlalu tinggi, jangan juga ada yang direndahkan. Para pejuang kemerdekaan bangsa telah mewariskan nilai dan pengalaman dasar keberhasilan perjuangan mereka: perbedaan jangan jadi penghalang untuk bersatu. Justru dalam persatuan ada energi maha dasyat untuk Indonesia merdeka.
Rapat kerja nasional selama empat hari tanggal 11 Agustus 2022 dan selesai 14 Agustus 2022 pengurus Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Wilayah (PGIW)/Sinode Gereja Am (SAG), diselenggarakan di kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Jogjakarta.
Salah satu tema yang terus didorong PGI untuk menjadi pokok refleksi spiritualitas hidup Gereja di Indonesia adalah keugaharian / hidup sederhana. Dalam kotbah di ibadah pembukaan Rakernas, Pdt. Wahyu Satria Wibowo, PhD, dosen Fakultas Teologi UKDW, berbagi,
“Bagi orang-orang kaya, makan hanya dengan lauk ayam goreng mungkin disebut sederhana. Namun bagi pemulung sampah, makan dengan ayam goreng adalah kemewahan. Bagi pengusaha besar sehari-hari memiliki dan mengendarai mobil Pajero mungkin sederhana, namun bagi sebagian pendeta itu kemewahan”. Beliau mengutip pemikiran Sokrates, filsuf Yunani, bahwa ugahari/kesederhanaan adalah kemampuan mengontrol diri dari berbagai kenikmatan. “Makan adalah kenikmatan, berkendara adalah kenikmatan dan kehormatan adalah kenikmatan . . . Tahu batas cukup akan membuat kita bisa mengontrol sikap dan sekaligus cara pandang terhadap orang lain. . . Hidup berkecukupan adalah hidup yang tidak dikontrol dan diperintah oleh kenikmatan”.
Berefleksi dari Matius 25:31-46 beliau menekankan makna ugahari sebagai kesediaan berbagi, memikul tanggung jawab untuk keadilan sosial dan ekologis, serta tidak dininabobokan oleh uang dan kuasa sehingga takut membela kaum tertindas dan alam. Sebaliknya dengan menghidupi spiritualitas ugahari, gereja-gereja di Indonesia mesti bersedia berjuang bersama melawan keserakahan yang memiskinkan rakyat dan merusak alam. Gereja sendiri mesti berhati-hati untuk tidak mempraktikkan hidup serakah dan sebagai gantinya memiliki sikap yang jujur, matang, dan berpihak kepada kaum rentan dalam mengambil keputusan.
Dalam sesi-sesi percakapan dan diskusi, para pengurus PGIW berbagi kisah mengenai praktik menghidupi spiritualitas di daerah masing-masing. Seperti mengenai kampanye dan upaya gereja mengurangi penggunaan plastik dan kertas dalam kegiatan gereja. Acara-acara gereja telah mengurangi penggunaan air kemasan plastik. Bahan-bahan persidangan lebih banyak dalam bentuk file elektronik. Sebagian yang lain berbagi tentang program pemberdayaan ekonomi bersama kelompok masyarakat yang terdampak baik oleh krisis akibat pandemic Covid-19 dan krisis pangan dan energi. Beberapa peserta menyebut pentingnya penghematan sumber daya pangan dan energi dan mengkritisi seremonial pelayanan gereja dan berbagai pesta pora yang dapat makin menggerus ketahanan sumber daya ekonomi masyarakat. Sebagian peserta berbicara tentang sikap kritis terhadap pertambangan di berbagai wilayah yang merampas hak ulayat masyarakat dan merusak alam.
0 Komentar