Sidokare sekarang adalah salah satu Kelurahan di Kabupaten Sidoarjo. Tetapi jaman Hindia Belanda dulu, Sidokare adalah menunjuk nama Kabupaten Sidoarjo. Afdeling (kabupaten) dari Karesidenan Soerabaija, namanya Sidhokarie.
2 Juni 1859 dengan Staatblad van Nederlandsch no. 3, namanya berubah Sidho-Ardjo.
Catatan Orang Jawa Kristen, Sidokare masuk masa awal. Pasamuan Jawa mula-mula. Semasa dengan Ngoro, sebelum Mojowarno ada. Bahkan Sidokare saat itu paling besar dan maju.
Laporan Pdt. Jellesma ketika masih tinggal di Dinoyo, Surabaya tahun 1848 :
“Ada sekitar 400 Kristen pribumi disini. Yang tinggal tersebar di 40 lokasi. Beberapa tinggal di Wiyung dan Kedurus, 2 jam perjalanan dari sini (Dinoyo). Sidokare 4 jam perjalanan. Ngoro 12 jam perjalanan. Srigat (Srengat) 40 jam perjalanan”.
Yang terbesar adalah Jemaat Sidokare. Perayaan Natal dan Pentakosta sering dilakukan bersama disini. Jellesma pernah menginap sampai 3 hari. Bukan saja melayani perayaan, iapun melayani baptisan yang semakin bertambah.
Sidokare adalah tanah sewa pakai. Permintaan dari Tuan W. Gunsch, model mirip dengan tanah Coolen di Ngoro. Bedanya tanah sewa Coolen hutan belantara, sedangkan Sidokare lokasi yang ramai dekat pecinan (kampung Cina). Sehingga banyak penyewa lahan berprofesi pedagang, pengrajin sampai kuli. Tidak bertani seperti di Ngoro.
Tuan tanahnya Gunsch membangun Gereja seharga 1.000 Gulden dan sekolah yang bagus.
Pengusiran penduduk Ngoro oleh Coolen karena baptis, menambah ramai Sidokare.
Tahun 1847 ketika Pdt. W. R. Baron van Hoevellen dan Pendeta J. J. Scheuer berkunjung , merasa takjub.
Ibadah Gereja dihadiri 200 orang Jawa termasuk 90 anggota baru. Paulus Tosari yang memimpin. Jacobus Singotroeno memberikan kotbah dari Joh. 3:16. Terlihat pula Mattheus Aniep disana.
Sayangnya, pertentangan muncul. Tuan tanah Gunsch merasa tidak nyaman dengan kehadiran Jellesma.
Gunsch melarang penduduknya bertemu Jallesma. Bahkan ia menulis surat keberatan ke Dewan Gereja Surabaya untuk menolak Jallesma. Suratnya pun disertai ancaman, bila tidak dikabulkan maka seluruh jemaat Sidokare akan masuk ke Gereja Roma.
Kebetulan saat itu 1849 datang misionaris Perancis, Schuh menunggu penempatan. Gunsch membujuknya untuk melayani di Sidokare.
Perjalanan orang Kristen Jawa Sidokare semakin terasa tidak nyaman. Tuan tanah menjadi otoriter. Terhembus desas-desus pula bahwa pemukiman Sidokare adalah tempat penampungan sementara. Gunsh mempunyai proyek lebih besar lagi di Kalimantan. Kabarnya mereka akan dipekerjakan disana.
Terlebih yang dari Ngoro, mereka merindukan menanam padi. Kabar dibukanya Hutan Keracil menjadi jawaban. Migrasi besar-besaran dari Sidokare ke Mojowarno tak terhindari.
Tahun 1851, Schuh ditempatkan di Afrika Selatan. Begitu pula Jellesma, surat permintaan pindah ke Mojowarno disetujui Residen.
Catatan literatur terakhir Sidokare :
Tahun 1862 Tuan tanah sudah beralih ke orang lain. Ada 10 keluarga Kristen. Gereja sudah tidak ada lagi. Hanya ada 20 murid bersekolah.
Dan setelah itu tidak ada catatannya lagi. Bekas fisik kebesaran Gereja dan sekolah tidak tampak lagi. Semua bagai lenyap tertelan jaman.
0 Komentar