Ismael kecil lincah dan cerdas. Dalam asuhan keluarga Ny. Philips di perkebunan kopi Purworejo. Didikan dan panggilan pelayanannya, Ismael remaja pergi ke Batavia. Mendaftar sekolah di Seminari Depok. Sayangnya pendaftaran telah ditutup, kelas sudah terisi penuh. Manusia berencana Tuhan menentukan. Ismael diterima di sekolah dokter Djawa STOVIA.
Profesi dokter Djawa bukan saja di perlukan pemerintah saat itu. Jabatannya membuat kelas priyayi baru. Payung kuning, tanda kehormatan itu ada disetiap fotonya. Belum lagi banyak lowongan di pemerintah kota dan perkebunan besar yang berani mengaji tinggi dengan segala fasilitasnya.
Tetapi Ismael sudah menentukan jalannya sendiri. Ketika bertemu dokter zending Bervoets, ia menerima ajakannya. Tahun 1898 Ismael meninggalkan semuanya. Pergi ke rumah sakit kecil yang baru berdiri di pedalaman, Mojowarno.
Kedatanganannya di Mojowarno menimbulkan tanya heran saat itu. Ternyata ada seorang Jawa menjadi dokter?.
Perawakannya kecil tapi lincah. Pekerja keras seperti tidak ada lelahnya. Seorang Jawa sederhana yang fasih bahasa Belanda.
Dokter Ismael tidak saja merawat bangsanya. Ia juga aktif memberikan ilmu di kelas perawat. Ketika orang menyapanya “Mas Behi”, anak-anak muda itu memanggil “ayah”. Selagi ada waktu ayah yang selalu setia menemani anaknya. Seperti setiap malam minggu di satu ruangan rumah sakit. Ayah yang mengumpulkan anak anaknya untuk belajar Alkitab.
Rumahnya selalu terbuka lebar. Anak muda sering terlihat disana. Hari Minggu kadang latihan menyanyi bersama, dr. Ismael mengiringi dengan pianonya. Jaman kebangkitan nasional, ketika banyak dokter Jawa menjadi motor organisasi besar. Dr. Ismael tetap setia menemani organisasi “desa”, Mardi Pratjojo. Kedewasaan Jemaat Mojowarno tahun 1923 ia pun turut serta.
April 1928 dokter Ismael mengalami serangan jantung cukup parah. Setelah agak enak, ia masih saja terus bergerak. Seakan tidak ada lelahnya, untuk melayani. Hampir 31 tahun ia setia, tidak pernah meninggalkan posnya.
Minggu pagi 10 Februari 1929. Suara Mazmur ibadah Gereja yang tidak jauh dari rumahnya, sayup terdengar. Dokter Ismael dengan tenang menuju Penciptanya.
Pdt. SA van Hoogstraten saat itu berada di Mojowarno, melaporkan :
Pemakaman berlangsung sangat khusyuk. Setelah berkonsultasi dengan M. Driya Mestaka (pendeta Jawa) diputuskan untuk mengadakan upacara pemakaman di gereja. Senin 11 Februari jam 14.30. Jenazah dibawa ke gereja, diikuti oleh ratusan orang Jawa. Sementara itu, lonceng gereja dibunyikan terdengar dari segala penjuru.
Sejumlah orang berkumpul di beranda depan Kapanditan: orang Eropa yang tinggal di sini, dua orang Pembantu Warga Djombang, Bupati dan Patih Djombang, Prof. Dr Rodenwaldt dari Surabaya, Inspektur Departemen Kesehatan Masyarakat Jawa Timur, Perwakilan Pengurus Pabrik Gula Retoredjo, Bapak Pik, Dr. dan Ibu Nortier serta Sister Rolff dari Malang, Dr. Eerland dari Paree. (Dr. Bervoets juga diundang) .
Bersama-sama kami pergi ke gereja dimana beberapa orang memberi sambutan : M. Driya Mestaka, Dr. Nortier, Prof. dr. Rodenwaldt, Mas Tabri; apoteker Pak Soemiar; Tuan Pik atas nama NZG dan atas nama Konferensi, wakil dari pemerintah Desa, salah satu guru Injil dari daerah tersebut dan perwakilan dari Surabaya.
Kemudian peti mati dibawa ke pemakaman. Di mana makamnya dibuat di sebelah makam Tuan Kruyt. Kami bernyanyi di sana di bawah hujan lebat dan doa singkat diucapkan oleh Wirjodarmo dari Mojokerto. Menurut saya, pemakaman yang khusyuk suatu penghormatan untuk mengenang Pak dokter”.
(Tulisan surat Pdt. SA van Hoogstraten).
Ketika banyak dokter Jawa menjadi sukses dan terpandang. Bahkan banyak adik kelasnya menjadi terkenal di negeri ini (pahlawan nasional).
Tetapi dokter Ismael mantap dengan pilihan jalannya. Merawat bangsanya dengan ilmu dan imannya.
0 Komentar