Hasil Penelitian PGI – ICRS : Tentang Dinamika Aktivisme Digital Kaum Muda dalam Kaitan Wacana Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB)

 

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bekerjasama dengan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Hari Selasa (28/3) di Grha Oikoumene, Jakarta memaparkan hasil penelitian dinamika aktivisme digital kaum muda dalam kaitan wacana Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).

Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan dan memahami perspektif kaum muda terhadap wacana kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), dalam konteks aktivisme digital. Respon Generasi Z terhadap Kasus-kasus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Media Daring.

Penelitian ini dilakukan dalam dua putaran. Putaran pertama dilaksanakan pada 2021, dan putaran kedua pada 2022. Dalam Penelitian pertama fokus pada persepsi generasi Z (Gen Z) terhadap kasus-kasus KBB di media daring. Sedangkan penelitian kedua yaitu memusatkan perhatian pada kaum muda yang lebih luas. Yaitu Gen Z dan Y (Milenial), dalam rentang usia 18 hingga 34 tahun. Pada putaran kedua, penelitian dilakukan di 5 kota (Denpasar, Jakarta, Manado, Padang, dan Pontianak). Sedangkan tim peneliti terdiri dari Leonard C. Epafras, Evelyn Suleeman, dan Daisy Indira Yasmin.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa,

Pertama. Kaum muda cair dan fleksibel dalam beragama. Toleran terhadap perbedaan namun kadar toleransi berjenjang. 

Urusan pribadi, seperti kesehatan, aktualisasi diri, hiburan, pekerjaan, jejaring politik, dan lainnya lebih mendominasi aktivitas medsos. Namun derajat fleksibilitas dan efektivitas sikap agama tergantung kemajemukan lingkungan, keluarga yang membesarkannya, budaya dan konteks lokal.

Kedua. Kaum muda peka pada isu sosial dan kemanusiaan seperti lingkungan hidup dan keamanan data, namun terbatas perhatiannya terhadap wacana KBB.

Wacana ini, khususnya yang menimpa kelompok minoritas agama masih dipandang rawan dan beresiko tinggi. Sikap ini tidak lepas dinamika lokal, nasional, maupun beban sejarah di daerah masing-masing.

Ketiga. Kaum muda masih di bawah bayang-bayang struktur, otoritas sosial keagamaan tradisional, sejarah lokal dan logika mayoritas-minoritas, yang menentukan ekspresi keagamaan dan sikap terhadap kasus-kasus KBB.

Keempat. Kaum muda mengelola eksistensi di medsos sebagai ruang sosial dan kanal ekspresi diri, ekspresi keagamaannya, di antaranya sebagai taktik dan strategi menghindari tatapan otoritas dalam menentukan sikap keagamaannya.

 

Jeirry Sumampow, Kepala Humas PGI  menyampaikan bahwa berdasarkan temuan tersebut, PGI & ICRS merekomendasikan sebagai berikut:

1) Demistifikasi sekat generasi, mempertalikannya dalam ikatan lintasgenerasi. Butuh siasat lintas generasi Rele-FUN. Penelitian ini menunjukkan, baik atau buruk, struktur sosial yang diwariskan kaum tua tetap menjadi ruang tumbuh kaum muda memperbaiki atau mengembangkannya. Kesinambungan generasi tetap terjadi meskipun mungkin sulit dan berdarah-darah. Dialog dan kerja bersama perlu senantiasa terbuka dan didorong. Butuh siasat lintas generasi untuk mencapai kesinambungan cita-cita bersama, siasat yang Rele-FUN.

2) Wacana KBB perlu menjadi bagian pendidikan umum secara programatis dengan metode pendidikan yang menyesuaikan dinamika kaum muda, lintas generasi dan konteks lokalnya. Penelitian ini menunjukkan pentingnya kolaborasi institusi pendidikan, institusi lainnya (agama, LSM, dll.), pemerintah, masyarakat sipil, media, platform digital, dan lembaga internasional untuk membangun sistem pembelajaran dan pemberdayaan kaum muda. Semangat yang menjiwai adalah kaum muda tidak dianggap sebagai sasaran, tetapi agen perubahan, pentingnya peningkatan literasi digital dengan metode penyampaian yang sesuai, serta mengembangkan konten-konten positif.

3) Pendidikan dan pendampingan wacana KBB mempertimbangkan keterkaitannya dengan keprihatinan sosial lain, seperti lapangan pekerjaan, kelestarian lingkungan hidup, ekonomi, AI, dan lainnya. Tema KBB perlu move on atau rebranding jargon-jargon dan branding "KBB," "toleransi," "perdamaian," "pluralisme," dan sejenisnya, yang berpotensi membatasi kalangan-kalangan kaum muda dari beragam spektrum persepsi lintas agamanya. Perlu mempertimbangkan keterkaitan lintas generasi melalui bahasa kaum muda yang mengedepankan hype dan vibe, beragama yang relevan, dan nilai-nilai generasi terdahulu.

4) Belajar dari dan merangkul para micro-preacher dan religiofluencer (religious influencer) dalam diskusi dan pengembangan wacana KBB di medsos. Tidak saja dalam penelitian ini, beragam penelitian lain menunjukkan pengaruh dan posisi strategis religiofluencer, yaitu micro-preacher, micro-ustadz, pastorgram, dan tokoh agama di medsos. Beberapa dari mereka memosisikan diri "moderat" dan "toleran" dalam berbagai isu keberagaman agama, bahkan dalam perjumpaan lintas agama. Mereka perlu terlibat aktif dalam mengembangkan wacana KBB melalui pelatihan, maupun postingan pesan-pesan agama.

Posting Komentar

0 Komentar