Saatnya, Gereja Turut Berpolitik

 

Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty, Dr. Daniel Rohi,dan Dr. Bambang Noorsena dalam Diskusi Ekumene "Peran Gereja di Tengah Dinamika Politik"


Istilah “Politik” berasal dari bahasa Yunani “polis”, yang berarti negara kota. Maksud sesungguhnya adalah serangkaian kegiatan yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam kelompok.

Aristoteles, filsuf Yunani terkemuka mendefinisikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Makna lainnya adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan publik pemerintahan dan negara. Juga tentang segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik Pemerintahan.

Nah, dengan pengertian tersebut, pertanyaan yang tetap relevan adalah, “Apakah gereja (kita) boleh berpolitik?” Jika dulu ada anggapan tabu dan dilarang. Maka dalam konteks kekniian hal itu menjadi tidak relevan lagi. Sekarang, gereja juga perlu berpolitik.

Namun perlu digarisbawahi bahwa maksud politk bukanlah dalam arti kekuasaan. Namun berpolitik secara kebangsaan, berpolitik yang membawa kesejahteraan.

 

Kultur Politik

“Sejak awal, gereja sudah mengambil peran dalam politik kebangsaan. Gereja berkelindan (erat menjadi satu) dalam politik,” terang Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty dalam paparan awalnya di hadapan lebih dari 100 peserta yang mengikuti Diskusi Ekumene “Peran Gereja di Tengah Dinamika Politik” (30/5/2023) di Malang.

Tampil di sesi pamungkas, Sekretaris Umum PGI Pusat ini mencoba memberikan pemahaman mengenai dinamika politik yang berkembang saat ini. Misalnya, ada kelompok-kelompok tertentu yang bermain politik identitas. Terhadap hal yang demikian ini, kritik kebangsaan harus terus disampaikan. “Maka dari itu, partisipasi kita sangat mendasar dibutuhkan.”

Pak Jack, sapaan akrabnya, mengingatkan bahwa tantangan gereja ke depan tidaklah makin ringan. Selama 5 (lima) tahun ke belakang, setidaknya PGI mencatat ada 3 (tiga) krisis besar yang dihadapi: kebangsaan, ekologi, dan transformasi digital.

Peran aktif gereja adalah perlu untuk menyiapkan warganya yang hendak terlibat dalam berpolitik. Gereja bisa merumuskan pesan politiknya, melakukan pendampingan pastoral, dan turut memberikan kontribusi aktif terhadap produk regulasi (peraturan perundangan).

Sementara, terkait dengan pemilu, gereja bisa memberikan sarana pencerdasan umat melalui buku tuntunan praktis, menjadi fasilitaor dan pendampingan untuk pemilih pemula dan melakukan literasi politik.


Pemetaan Tepat

Sementara itu, Dr. Bambang Noorsena yang menjadi pendamping, mewakili PIKI (Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia) menambahkan, dalam berpolitik terkadang pemahaman dan pemetaan kita kurang tajam.

“Apakah di Kristen ada sekularisasi? Adakah pemisahan antara kehidupan beragama dan berpolitik?”

Penulis buku yang kini juga menjadi youtuber ini memberikan contoh pengertian dalam teks Injil sinoptis. "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (Matius 22:21).

Ada 2 (dua) faksi di sana: orang-orang Farisi dan golongan Saduki. Yesus seakan dijebak oleh situasi dalam pertanyaan yang diajukan. Jawabannya tidak bisa sekadar “ya” atau “tidak”.

Belajar dari sana, ada pemisahan aspek sosial dan politik dalam bingkai pemahaman yang benar. Jawaban Yesus sama dengan peran gereja di masa sekarang.  

“Kita memasuki era digital yang tanpa batas. Apakah gereja boleh berpoltik? Tentu saja jawabannya bukan lagi “ya” atau “tidak, tetapi “Harus!”

Bambang berharap agar gereja juga punya “sekolah kader” untuk mewadahi peran serta warganya. Gereja bisa memberikan nafas kebangsaan kepada umatnya.

 

Rekomendasi

Di akhir acara ini, Dr. Ir. Daniel Rohi, M.Sc. Eng, IPU, Ketua DPD PIKI Jatim yang menjadi moderator acara memberikan simpulan dan rekomendasi atas hasil diskusi ekumenis kerja bareng antara PIKI Jatim dan PGIW Jatim ini.

Delapan hal yang perlu menjadi catatan adalah:

1.   Pastoral Politik

Gereja berperan untuk  membimbing dan mengarahkan Jemaat agar berpolitik sesuai nilai-nilai Kristen yang baik dan benar.

2.   Edukator

Gereja berperan penting dalam mengedukasi Jemaat, khususnya terkait dengan persoalan  politik.

Gereja harus bisa mencerahkan dan menginspirasi tentang krisis yang terjadi:  kebangsaan, ekologi dan oikomene.

3.   Public Speaker

Gereja berperan dalam membuat jargon yang produktif dan suara kenabian (profetik)-nya. Dengan kata lain, mampu mendatangkan kebaikan dan hal-hal yang positif.

4.   Advokat

Gereja melakukann advokasi di level basis dan menyiapkan paralegal.

5.   Pendampingan

Gereja turut aktif dalam melakukan pendampingan pembangunan yang komprehensif dan lintas disiplin ilmu.

6.   Pengutusan (sending)

Menyiapkan kader cendekiawan yang ahli di bidang tertentu untuk membantu gereja dan masyarakat.

7.   Lobbyist  (lobi)

Melakukan pendekatan dengan kekuasaan (seperti Ester) dalam perumusan sebuah kebijakan (yang menyangkut kepentingan banyak pihak) dan mampu berjejaring dengan semua pihak.

8.   Evaluator

Gereja melakukan kritik diri secara berkelanjutan,melakukab pemetaan tentang potensi gereja dan pendataan.




(penabur/end)

Foto: Hendra
Video: Dany Kr


Posting Komentar

0 Komentar