Ketika Kaum Muda Belajar Sejarah dengan Gembira

Belajar sejarah dengan cara asyik ala kawula muda

 

Sejarah itu perlu dan penting untuk dipelajari oleh kaum muda. Agar mereka bisa meneladani para pelaku sejarah di dalamnya.

Antusias kaum muda yang tertarik pada dunia sejarah bisa dibilang tidak banyak. Namun dari sekumpulan kecil itu, diskusi yang membahas topik sejarah bisa memakan waktu hingga 4 jam lamanya. Acara yang dimulai pkl. 19.30 ini baru berakhir hingga pkl.  23.30 WIB dengan penuh kegembiraan.

Bedah buku yang berjudul Mojowarno dan Komunitas Multikultural 1864-1931 ini dihadiri
mayoritas kaum muda serta guru mata pelajaran sejarah yang ada di kawasan Mojoagung, Jombang dan Mojokerto. Diselenggarakan pada acara malming (malam mingguan), yang bertempat di  Mojag Café, Gambiran, Mojoagung, Kabupaten Jombang.

 

Buku karya Fendy Suhartanto, S.Pd. ini sangat menarik untuk didalami isinya. Sebagai seorang guru sejarah di SMAN 1 Puri Mojokerto kini, ia punya misi khusus di balik peluncuran karyanya.

“Kalau penggiat sejarah bisa berkarya, menuliskan sejarah desa-desa di daerahnya, maka ia bisa menceritakan keunggulan desa tersebut. Termasuk menjadi bagian di dalamnya adalah meneladani para pelaku sejarahnya,” katanya.

Mas Wiwid memaparkan tentang sejarah kawasan Mojowarno


Mojowarno dalam Rangkaian Sejarah

Sebagai narasumber lain dari kegiatan ini, penulis buku didampingi oleh Wiryo Widianto atau yang akrab dipanggil Mas Wiwid. Seorang penggiat sejarah dan juga penulis buku-buku sejarah yang banyak mengangkat nama tokoh lokal pada zamannya.

Pria yang juga kebetulan berasal dari Mojowarno itu memberikan ulasan bahwa berdirinya kawasan Mojowarno sekarang ini, tidak terlepas dari keberadaan dari desa Ngoro. Sebuah tempat pertama kali kekristenan awal ditabur oleh “Kyai Ngoro” yang dipimpin oleh C.L. Coolen, seorang awam Kristen yang nJawani. Ia punya banyak murid.

Para pembuka desa-desa baru di Mojowarno adalah para mantan dari murid Tuwan Coolen tersebut. Termasuk desa-desa di Mojowarno berkembang pesat setelah banyak pendatang masuk dari Ngoro, Kertorejo, Sidoarjo dan Jawa Tengah. Mereka mayoritas telah menerima kekristenan selain agama leluhur, Hindu, Buddha dan Islam.

Kalau silihat, nama-nama desa yang banyak memakai unsur “Mojo”. Seperti: Mojowarno, Mojowangi, Mojoroto, Mojojejer, Mojodukuh, Mojokembang, Mojoduwur, dan seterusnya. Hal ini lantaran latar belakang daerah ini sebelumnya adalah kawasan Majapahit.

Perkembangan ini menarik minat misionaris Belanda, yaitu pendeta J.E Jellesma untuk melayani komunitas unik ini. Dia dibantu oleh pendeta Jawa, Kyai Paulus Tosari.

Pada tahun 1851, mereka telah mendapat pengajaran: tulis-menulis, pengetahuan geografi dan agama Kristen. Jadi sejak zaman itu, ketika masyarakat pribumi di luar kawasan ini belum banyak yang bisa menulis dan membaca, tapi di Mojowarno sudah mengenal baik pendidikan.

Kemudian di tahun 1864, kegiatan ini dikembangkan oleh misionaris Belanda penggatinya, pendeta Johannes Kruijt bersama dengan komunitas multikultural yang tinggal di sini (Jawa, Madura, Cina, Belanda). 

Sesi diskusi dan tanya jawab

Berhubung misi gereja, misi medis, misi pendidikan ini berkembang pesat, sehingga menjadikan Mojowarno menjadi pusat misi zending di Jawa saat itu. Bahkan sebuah kisah menarik bisa didapatkan di sini. Pada tahun 1902, pahlawan emansipasi R.A. Kartini punya minat untuk masuk sekolah bidan di Rumah Sakit Zending di Mojowarno.

Kartini merindukan kemerdekaan bagi perempuan. Ini dapat dilihat dari Suratkepada Nona Zeehandelaar, 11 Oktober 1902. “Dia melihat betapa senangnya seorang perempuan bisa bebas melakukan pekerjaan sosial bagi orang lain dan tidak terkurung oleh budaya masyarakat Jawa pada waktu itu yang sangat mengekang perempuan”.

Dia juga menulis pada 31 Januari 1903 bahwa dia menginginkan "pekerjaan misionaris, tetapi tanpa pembaptisan". Dalam catatan kartiini, ia menginginkan agar dapat: "Mendidik orang Jawa, mengajarinya berpikir mandiri, dan ketika dia sudah dewasa menurut roh, biarlah dia memilih arah agamanya sendiri.”

Dalam konteks masa kini, harapan Kartini adalah satu bentuk pro eksistensi bagi penganut agama yang berbeda; untuk bisa ikut berperan memajukan sesama anak bangsa yang saat itu masih ada keterbatasan dalam budaya. Hal ini direspon positif oleh komunitas Zending Mojowarno karena pada awalnya, misionaris bertujuan membangun peradaban yang lebih baik bagi masyarakat pribumi.

“Sampai hari ini, peninggalan bangunan kuno saksi sejarah saat itu masih kokoh berdiri. Baik itu bangunan gereja, sekolah, rumah sakit dan rumah-rumah penduduk”, terang mas Wiwid yang kini menetap di Sidoarjo.

Sampai di luar area, antusias mengikuti acara

Rupanya, sntusias kawula muda yang hadir di acara ini sangat ingin melakukan wisata sejarah ke daerah unik seperti Mojowarno ini. Tidak sebatas pada cerita yang ada dan ditulis semata.

“Di Jombang masih banyak tempat bersejarah menarik untuk dikunjungi dan bisa dikembangan menjadi wisata toleransi. Kita juga bisa mengunjungi Ponpes Tebuireng, Ponpes Tambakberas, Klenteng Gudo dan masih banyak lagi” terang mas Wiwid yang kini menetap di Sidoarjo.

Wah asyik dan gayeng juga pembicaraan yang seakan tak mengenal waktu itu. Mas Mansur,  panggilan Mohammad Mansur (pemilik Mojag Coffé group: Mojoagung, Sumobito dan Diwek) bahkan siap memfasilitasi diskusi sejarah atau tema-tema lainnya. Agar para generasi muda bisa berkarya untuk meningkatkan kemajuan mereka.


*) Penabur/ant

Posting Komentar

0 Komentar