![]() |
Ngobrol asyik tentang sejarah gereja |
Minggu malam, 7 Juli 2024. GKJW Jemaat Bongsorejo mengadakan acara Ngobras alias Ngobrol Sejarah. Berbincang mengenai sejarah berdirinya jemaat ini.
Kegiatan formal namun dalam suasana cukup santai ini diadakan di pendopo depan gereja, dengan dihadiri sekitar 150 warga jemaat. Menariknya kegiatan semacam ini disiarkan juga secara langsung (live steaming).
Dengan mengambil tema: Nresnani, Nduweni, Ngopeni Bongsorejoku (Mencintai, Memiliki dan Merawat Bongsorejoku). kegiatan ini menghadirkan 5 orang narasumber.
Mereka adalah Widianto, warga jemaat yang juga menulis buku 100 tahun GKJW Bongsorejo. Hadiyanto dan Wiryo Widianto dari PERWAMKI dan pemerhati sejarah gereja (GKJW). Serta Seken, kepala desa Bongsorejo dan Tri Kridaningsih, pendeta jemaat Bongsorejo.
![]() |
Gereja perlu mendorong henerasi mudanya untuk tahu sejarah dan mencintai budayanya sendiri |
Napak Tilas Sejarah
Dalam diskusi ini terungkap banyak sumber yang bisa saling mengisi dan melengkapi. Tampil pertama, Widianto mengakui bahwa yang diulang-tahuni memang gedung gereja permanen. Sebagaimana yang tertulis pada bagian depan gereja: 1898. Padahal sebelumnya, pada tahun 1873 sudah ada gereja pertama yang sederhana. Terbuat dari gubug beratap ilalang.
Ditambahkan oleh Wiryo Widianto, selama kurun 3 tahun itu, yaitu pada tahun 1873, setelah terjadinya babatan alas (pembukaan hutan), pemukiman baru itu dinamakan sebagai Desa Bongsorejo. Bongso artinya rakyat, masyarakat. Rejo artinya makmur. Jadi Bongsorejo dapat diartikan rakyat yang makmur.
Bahkan oleh zendeling Johaness Kruyt, yang pada waktu itu menjadi pemimpin zending yang berpusat di Mojowarno, menjuluki Bongsorejo sebagai Putri Tercantik dari Mojowarno.
“Klaas Waridin (mantan penginjil Surabaya) bersama rombongan 35 orang dari desa Mojoroto, yang datang ke hutan Godek ini, sebelum membuka hutan, tentu mereka berdoa dengan cara Kristen. Peristiwa itu dicatat terjadi pada tanggal 22 Nopember tahun 1870. Menurut saya, tanggal ini bisa dijadikan tanggal kelahiran Jemaat Bongsorejo,” urai Wiryo menerangkan.
Hal itu tentu berbeda dengan tanggal peresmian gedung gereja. Mededeelingen (Berita Zending) mencatat tanggal 6 Juni 1881 ada dua peristiwaa sekaligus. Selain peresmian bangunan gereja, sekaligus menjadi hari penahbisan Voorganger (Guru Jemaat) Bongsorejo pertama, yaitu Joram Lestari oleh Johannes Kruijt.
Melengkapi narasumber lain, menurut Hadiyanto, ada yang unik di Bongsorejo ini, yaitu adanya perjanjian yang disebut “Ambabaddi Bongsorejo.” Aturan dan norma sosial ini terdiri dari 4 pasal saja.
Di antaranya, membagi secara adil 150 bauw luasan hasil reklamasi (istilah lain untuk pembukaan hutan) kepada 35 orang tadi. Kecuali bagi 7 orang yang punya jabatan khusus menjadi perangkat desa.
Bahwa tanah-tanah tadi harus digarap (diusahakan) sendiri. Boleh diwariskan, tapi tak boleh dibagi-bagi kepada orang banyak lainnya.
Selain itu, jika ada pelanggaran norma seperti mencuri, menipu, mabuk, berbuat cabul dan lain-lain, hukumannya adalah tanahnya akan disita dan diberikan kepada kerabat yang bisa mengurusnya. Jika dalam satu tahun itu mengulangi lagi perbuatannya, maka tanah akan diambil seluruhnya (disita).
Menanggapi adanya “perjanjian” leluhur itu, Seken menguraikan kenyataan yang ada sekarang. Tanah sawah hanya tinggal 20 persen yang dimiliki warga Bongsorejo. Sedangkan untuk pekarangan yang seluas 40 ha, yang 5 ha dimiliki oleh orang luar Bongsorejo. “Mengapa demikian, karena kalau dibeli sendiri harganya murah. Makanya banyak dijual ke orang luar,” katanya dengan keprihatinan.
![]() |
Sesi tanya jawab |
Bongsorejo Masa Depan
Menutup paparan narasumber, Pdt. Tri Kridaningsih menggarisbawahi supaya perlu ada pemahaman baru setelah usainya acara ini. “Selama ini yang dipahami Jemaat, usia ulang tahun yang ke-126 ini adalah usia gedung gerejanya (dihitung dari tahun 1898, red). Nah, padahal yang lebih penting untuk menjadi pengingat adalah manusianya. Adanya persekutuan orang percaya.”
Itu berarti, jika awalnya ada persekutuan orang percaya, yang membuka hutan bersama, yang dimulai pada tahun 1870, Maka jika dibandingkan dengan tahun 2024 ini, usia Jeaat Bongsorejo bukan lagi 126 tahun, tapi sudah 154. “Berarti tahun depan HUT-nya langsung menjadi 155 tahun, ya Bapak, Ibu,” tukas pendeta yang sudah 7 tahun melayani seraya terkejut juga dengan penambahan angka yang dimaksud.
Rangkaian acara peringatan HUT ke-126 di tahun ini akan ditutup pagelaran Wayang Kulit pada hari Minggu esok, 14 Juli 2024. Menghadirkan duet dalang yang bertempat di lokasi yang sama.
Naskah: Wiwid/Hendra
Foto: Bara
0 Komentar