Aku bersyukur atas terbitnya buku ini. Melaluinya, aku dapat menelusuri kembali bagaimana munculnya GKJW Bongsorejo. Jujur saja, aku agak baper dengan gereja ini. Gereja ini punya tempat tersendiri dalam sejarahku berdialektika dengan isu interfaith. Di sini, untuk pertama kalinya, sebagai seorang muslim, aku berani masuk gereja dan memulai kiprahku di dunia antar iman.
Aku lupa persisnya tahun berapa, namun sekitar 2001, setelah usai membantu organisasiku, ICDHRE, melakukan riset kerukunan umat beragama di Jombang, aku dan kawan-kawan mulai belajar membangun jejaring komunitas lintas iman.
Pilihan jatuh ke Bongsorejo karena disamping kecocokan profilnya sebagai persemaian gerakan lintas iman, dusun ini berlokasi dekat kantor. Sekitar 10-15 menit bersepeda motor.
Penulis di depan gereja Bongsorejo
Saat itu gereja tersebut dilayani Pdt. Agung dengan pasangannya, mbak Aphrodite. Aku mencoba meretas dialog karya yang sangat sederhana; bersih-bersih masjid dan gereja yang diikuti warga dua dusun; Bongsorejo dan Tawar yang penduduknya 100% Islam.
Relasiku terus berlanjut pasca acara. Aku kerap mengunjungi dusun ini setelahnya, sampai Mas Agung digantikan Mas Cahyo, Pdt. Jess Sri Jatmiko hingga Pdt. Ridha. Tak terhitung berapa kali aku mengadakan acara lintas iman di sana. Bagi kawan-kawan GDian Jombang, GKJW dan pastori sudah seperti rumah kami sendiri. Di rumah dinas pendeta, kami terbiasa makan, tidur, rapat bahkan salat. Benar-benar tidak ada jarak. Pendek kata, bagi kami, GKJW Bongsorejo adalah etalase sekaligus kawah candradimuka untuk memperkuat rasa toleransi, terutama bagi kalangan Islam di luar Bongsorejo. Pernah suatu ketika aku mengajak puluhan anak-anak muda Islam asal Madura ke gereja ini. Oleh Pdt. Ridha dan ayahnya, mereka diberitahu bahwa orang-orang Madura merupakan pelaku sejarah awal berdirinya GKJW Bongsorejo. Mereka kaget. Aku pun demikian -- bagi kami, Madura identik dengan Islam, bukan Kristen. Saat Sinta Nuriyah --- istri K.H. Abdurrahman Wahid -- dianugerahi doktor honoris causa dari UIN Sunan Kalijaga, ada video profil bu Sinta Nuriyah yang dibuat Keluarga Ciganjur dan ditampilkan dalam momen tersebut. Uniknya, ada gambar bangunan sekolah depan pastori GKJW Bongsorejo ditayangkan saat menceritakan masa sekolah dasar bu Sinta Nuriyah. Aku dan kawan-kawan kaget dan menduga-duga apakah beliau pernah sekolah di sana.
Selama ini aku dan kawan-kawan Muslim melakukan gerakan lintas iman di Bongsorejo tanpa merasa perlu tahu siapa sebenarnya yang pertama kali mbabat alas Bongsorejo. Kami tidak kenal dengan nama-nama seperti Kiai Klass Waridin maupun paq Poerwo dan paq Lestari serta Pamulang Wedrig/Sutadji. Aku membayangkan bagaimana reaksi nama-nama itu saat mengetahui ratusan tahun setelah mereka berhasil membangun Bongsorejo, tempat ini senyatanya mampu mengerek kekristenan dalam wajahnya yang begitu anggun berdampingan dengan komunitas Islam di luar Bongsorejo. Bagiku, sebagai orang Islam, GKJW Bongsorejo adalah tempat yang nyaman, seperti "putri cantik" -- selain Mojowarno, bagi masyarakat Jombang yang identik dengan Kota Santri. Kami belajar tentang etika kekristenan dan keguyuban serta penerimaan tanpa syarat dari warga GKJW Bongsorejo. Jombang sungguh beruntung memiliki GKJW Bongsorejo. Buku ini melengkapi keragaman yang ada di Jombang, khususnya kontribusi kekristenan Bongsorejo.
Terima kasih bagi para penulisnya -- Mas Wiryo Widianto dan Mas Hadiyanto. |
Muhammad Aan Anshori, A.Md., SH., M.H. ( Gus Aan)
Dosen UCI Surabaya, Aktifis GUSDURIAN Jawa Timur
0 Komentar