Menampilkan Kristus dalam Konteks Ke-Indonesia-an

 


“Gereja itu ada oleh karena Warta Injil; maka, Gereja hanya menjadi “ada” ; artinya, ia menjadi benda tujuan tetapi tidak punya roh subyektif,” demikian pembuka Pdt. Simon Rachmadi, Ph.D. dalam seminar kesaksian berbasis budaya lokal di Greja Kristen Jawi Wetan Jemaat Sidoarjo, Jumat (16/5/2025).

Pendeta yang melayani di GKJ Nehemia Pondok Indah, Lebakbulus dan dosen STFT Jakarta ini memaparkan, bagi Gereja Jawa, semangat pewartaan Injil ini dapat digali sampai ke lapisan  Bagi Gereja Jawa,semangat pewartaan Injil ini dapat digali sampai ke lapisan terdalam: yaitu ketika para leluhurnya orang-orang Kristen Jawa mulai bersentuhan dengan dunia Kristianitas melalui para misionaris “swasta” yang rela pergi ke “ujung dunia” pada awal abad kesembilan belas. Apa yang tidak mampu dilakukan oleh para pendeta “negeri” (yang digaji oleh VOC) ternyata dapat dikerjakan oleh dedikasi pribadi mereka yang didukung oleh suatu komunitas perkasa yang menghayati semangat pewartaan Injil. Para misionaris pertama yang datang ke Jawa Timur, dan kemudian bergerak ke Jawa Tengah, didukung oleh lembaga-lembaga nonpemerintah: dari tradisi Hervormd (di Jawa Timur, sejak 1811) dan dari tradisi Gereformeerd (di Jawa Tengah, sejak 1859). 

Semangat pewartaan Injil ini dapat digali sampai ke lapisan terdalam: yaitu ketika para leluhurnya orang-orang Kristen Jawa mulai bersentuhan dengan dunia Kristianitas melalui para misionaris “swasta” yang rela pergi ke “ujung dunia” pada awal abad kesembilan-belas. Apa yang tidak mampu dilakukan oleh para pendeta “negeri” (yang digaji oleh VOC) ternyata dapat dikerjakan oleh dedikasi personal mereka yang didukung oleh suatu komunitas perkasa yang menghayati semangat pewartaan Injil. Para misionaris pertama yang datang ke Jawa Timur, dan kemudian bergerak ke Jawa Tengah, didukung oleh lembaga-lembaga nonpemerintah:  dari tradisi Hervormd (di Jawa Timur, sejak 1811) dan dari tradisi Gereformeerd (di Jawa Tengah, sejak 1859). Perjumpaan dengan para misionaris ini membuat para leluhurnya orang Kristen Jawa, yang adalah golongan wong ndesâ, untuk pertama kalinya melihat horizon yang lebih luas tentang dunia manusia. Mereka melihat bahwa ternyata dunia tidaklah hanya “sedaun kelor” (kecil sekali) tetapi seluas “langit tak bertepi”. Religiusitas Jawa mereka melihat dunia baru penuh janji, penuh kata-kata baru, yang menghadirkan medan pemaknaan hidup manusia yang terasa sungguh emansipatif. Ini adalah suatu pengalaman insani yang mirip dengan apa yang dialami oleh Gereja Perdana dan para leluhur Kristiani yang — sering disemboyankan dengan istilah doa — “berasal dari segala abad dan tempat”. Pengalaman insani yang bersifat emansipatif ini kiranya menjadi tanda khas dari peristiwa hadirnya Warta Injil: yaitu perjumpaan dengan Kristus, Sang Sabda Allah yang menjelma manusia dan dialami di dalam sejarah diri orang beriman yang percaya (believing) dan rela memercayakan diri (trusting) kepada Allah

 

Pdt. Simon Rachmadi, Ph.D

Mewartakan Injil, Menampilkan Wajah Insani Kristus

Mewartakan Injil tidaklah sama dengan melakukan siaran “warta berita” di televisi atau radio. Dalam siaran “warta berita” itu, yang dihadirkan adalah informasi; sedangkan, dalam tindakan mewartakan Injil, yang dihadirkan adalah peristiwa komuni—melalui praktik komunikasi—yang menghasilkan surplus makna hidup yang menggairahkan. Salah satu tanda dari hadirnya surplus makna hidup itu adalah lahirnya kemampuan imajinatif manusia untuk menggambarkan eksistensi antropologis dari dirinya sendiri.

Usaha untuk menampilkan “Wajah Kristus” itu menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk simbolis. Kehidupan manusia tidak jauh dari usaha simbolisasi, baik melalui proses produksi simbol-simbol secara berkelanjutan, maupun melalui proses pewarisan simbol-simbol yang sudah jadi untuk mentransmisikan pesan-pesan antropologis tertentu dari pihak satu ke pihak lainnya. Gejala ini dirumuskan oleh George Ferguson, dalam buku Signs and Symbolism in Christian Art (1958) dengan mengatakan bahwa simbol adalah “… bentuk luar dan terlihat yang melaluinya terungkap realitas batin dan tak kasat mata yang menggerakkan dan mengarahkan jiwa manusia”   (Ferguson 1958, Pendahuluan). Menurutnya, pemakaian simbol-simbol untuk mengungkapkan apa yang tidak tampak di kedalaman batinnya, sehingga bisa terlihat di medan komunikasi, adalah bukti dari gejala primordial yang diwartakan oleh kitab suci: bahwa manusia diciptakan menurut “gambar-dan-rupa Allah” (Kej 1:26–27), sehingga manusia selalu rindu untuk “melihat gambar-dan-rupa Allah” itu di dalam dirinya (Mat 5:8). 

Kerinduan untuk “melihat gambar-dan-rupa Allah” itu tidak pernah padam. Apalagi ketika orang Kristiani dimarginalisasi, seperti yang terlihat melalui artefak-artefak katakombe. Malahan, terjadi suatu gejala yang aneh. Apa yang semula dianggap “gelap” pada zaman yang kemudian justru dianggap sakral dan menjadi tempat yang subur untuk menimba pengalaman “melihat gambar-dan-rupa Allah” di dalam diri manusia. Katakombe, dan juga Makam-makam Kristiani, pernah menjadi tempat yang disukai oleh para pendoa-kontemplatif (disebut para mistikus/mistika) yang ingin mempertinggi capaian-capaian hidup rohani mereka. Tokoh seperti Santo Antonius (251-356), yang konon sering hidup di kuburan dan berjuang melawan setan-setan, sangat dihormati di kalangan umat Kristiani pada zamannya (Kyrtatas 2012, 245). 

Jika refleksi atas peristiwa yang terjadi di alam Eropa sana ditarik ke dunia orang Kristen Jawa abad kesembilan-belas, kiranya kita dapat mengatakan: bahwa para leluhur orang-orang Kristen Jawa pun pada dasarnya punya kerinduan untuk “melihat gambar-dan-rupa Allah” di dalam diri mereka. Kerinduan itu sangat aktif, terasa akut, bahkan ada yang telah menjadi kronis karena bertahun-tahun lamanya terasa berkobar di dalam hati. Yang ada pada waktu mereka itu hanyalah warisan religiusitas Jawa yang banyak dimuati gambaran-gambaran kuno—Hinduisme dan Budha—serta yang dilengkapi dengan sejumlah kosa kata Islami yang diserap dari jaringan komunikasi publik pasca-zaman keruntuhan Majapahit (abad ke-16). 

Bayangkan, ketika bersentuhan dengan para misionaris, para leluhurnya orang-orang Kristen Jawa itu mengalami perjumpaan dengan cakrawala kehidupan manusia yang jauh lebih luas, yang membangkitkan proses belajar lebih jauh untuk semakin mencerdaskan kerinduan hati mereka untuk “melihat gambar-dan-rupa Allah”. Tentu saja, hal ini tidak mengesampingkan pencobaan-pencobaan sejarah yang harus ditempuh dengan susah-payah, seperti: mengatasi kemiskinan, mengatasi konflik, dan paham kolonialisme yang menciptakan sekat-sekat di dalam masyarakat.

 Konteks Ke-Indonesia-an

Setelah zaman kolonial berlalu, orang-orang Kristen Jawa harus hidup di periode sejarah baru yang namanya zaman Indonesia Merdeka. Di zaman ini, horizon makna tentang native people (orang pribumi, orangnya “kita”) menjadi amat kompleks. Kaum pribumi tidak saja dapat digambarkan secara antropologis dengan memakai kategori-kategori Jawa. Horizon makna antropologis tentang apa itu pribumi (orang Indonesia asli) menjadi tidak bisa ditemukan hanya dengan menggali kategori-kategori SARA (suku, agama, ras, dan golongan politik).

Horizon makna antropologis tentang apa itu orang “asli” Indonesia tampaknya perlu dibicarakan dengan memakai—apa yang oleh Taufik Kiemas disebut sebagai–”empat pilar kebangsaan”; istilah ini kemudian dilembagakan menjadi “empat pilar MPR RI” (Website MPR). Empat pilar kebangsaan itu adalah: NKRI, UUD-1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.

Dalam artikel ini, keempat pilar tersebut dibicarakan secara simbolis sebagai: tanah, bangunan, nilai-untuk-bertindak, dan prinsip-untuk-bersikap.

    1. Pilar “tanah” (negari, negeri, NKRI). Pada pilar ini, fenomena Indonesia diperlihatkan dalam wujud kesetiaan kepada jaringan dunia kehidupan yang dialami oleh warga negara Indonesia. Jaringan dunia kehidupan ini unik. Di satu pihak, dia multiragam; di lain pihak, dia satu kesatuan tak terpisahkan. Tak tercampur (multiragam), tak terpisah (tunggal). Mirip seperti interrelasi para pribadi ilahi di dalam paham Trinitas.
    2. Pilar “bangunan negara” (konstitusi). Pada pilar ini, fenomena Indonesia diperlihatkan dalam wujud kesetiaan terhadap negara. Bisa jadi, ada suatu situasi di mana para politisi buruk berperan di dalam penyelenggaraan negara. Jika hal itu terjadi, orang-orang beritikad baik perlu bersuara dan mempersembahkan tindak kenabian untuk mencegah merebaknya dosa. Akan tetapi, suara dan tindak kenabian itu perlu diproses baik-baik—di dalam horizon makna antropologis Indonesia yang memperhitungkan segala elemen—agar tidak menjelma menjadi gerakan yang sifatnya merusak integritas negara. Sekalipun harus mengalami zaman penganiayaan, seperti yang dialami oleh para leluhur Gereja di zaman kekaisaran Romawi, orang-orang Kristen akan tetap setia kepada bangunan negara yang diatur lewat konstitusi. Sebab, iman Kristiani percaya akan penyelenggaraan ilahi di dalam sejarah. Suatu negara akan selalu mengalami situasi “up-and-down”; akan tetapi, kasih setia Allah tetap menyertai umat-Nya.
    3. Pilar “nilai” (agemaning aji, Pancasila). Pada pilar ini, fenomena Indonesia diperlihatkan dalam wujud penghayatan akan Pancasila sebagai “way of life”. Dalam persidangan MPR, pilar ini akan menjadi sendi pemersatu ideologis, a state philosophy. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari orang yang ingin menemukan autentisitas ke-Indonesia-annya, Pancasila akan menjadi suatu horizon makna antropologis yang tidak hanya untuk dihafal, atau pun dilafalkan, tetapi ditimbang-timbang maknanya setiap hari sebagai “dharma” (way of life, martabat kehidupan yang ditempuh dengan tabah) untuk selalu beriman, berperikemanusiaan, menjaga kerukunan, bersikap demokratis, dan tekun mengusahakan keadilan sosial. Nilai-nilai ini bersifat universal, sehingga dapat ditemukan di dalam ajaran-ajaran moral pada tataran mondial (sedunia). Nilai-nilai ini dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan keunikan iman Kristiani dengan keunikan-keunikan agama-agama manusia (baik agama yang sifatnya formal maupun yang informal).
    4. Pilar “prinsip” (wadah dinamika, Bhineka Tunggal Ika). Pada pilar ini, fenomena Indonesia diperlihatkan dalam wujud suatu metode berpikir dan metode berkomunikasi yang peka akan realitas manusia yang sifatnya selalu rawan (vulnerable) dan tidak sempurna (broken). Seindah apa pun suatu ideologi, atau cita-cita, atau nilai budaya, hal itu tidak akan bisa otomatis menjelmakan keindahan—atau kebaikan—jika tidak diusahakan secara bersama-sama oleh setiap unsur di dalam masyarakat, negara, dan elemen-elemen kebangsaan Indonesia. Melakukan usaha bersama-sama secara rukun dan bermakna—sekalipun harus menanggung beban pahit-getirnya kebersamaan, demi kebaikan bersama, berdasarkan jiwa besar dan hati rela berkorban—itulah yang dikemas dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
   Pemribumian Injil (theologia in loco)
    1. Perbincangan tentang empat pilar kebangsaan Indonesia, yang menjadi entry-point untuk menemukan cara hadir autentik orang Indonesia di bumi Indonesia tersebut di atas akan menjadi sekadar slogan dan omong kosong belaka, apabila tidak dilandasi dengan dinamika roh yang lebih dalam: yaitu “teologi” (gagasan tentang kehadiran ilahi) dan “evangelisasi” (usaha ndherek Gusti, ikut Yang Ilahi di dunia ini).
    2. Teologi hadir dalam multiwajah dan banyak dimensi. Bagi seorang kanak-kanak, teologi hadir sebagai dongeng yang menggairahkan jiwa. Bagi seorang remaja, teologi hadir sebagai daya kritis yang membuatnya tidak mudah tertipu. Bagi kaum awam, teologi hadir sebagai semboyan hidup sehari-hari. Bagi kaum cendekiawan, teologi hadir sebagai aneka konstruksi yang selalu harus diperiksa kewarasan berpikirnya.
    3. Apa pun keadaan orang yang berteologi, dia akan selalu memakai teologi itu untuk kepentingan praktis dalam hidup beriman sehari-hari. Itulah yang disebut watak “in loco” (sesuai dengan tempat berpijak dalam hidup sehari-hari). 
  1. Aktualisasi Injil (evangelisasi in tempo)
    1. “Theologia in loco” saja tidak cukup. Setelah orang bisa memikirkan tanda-tanda kehadiran ilahi di dalam hidupnya, orang itu perlu bersikap tanggap terhadap Tuhan yang datang mengunjunginya. Orang itu perlu mengambil keputusan untuk: (a) memahami apa yang Tuhan nyatakan/wahyukan, dan (b) menanggapi penyataan/pewahyuan itu secara sekaligus: objektif-material, subjektif-autentik, dan intersubjektif-moral. Keputusan “ikut Tuhan” (ndherek Gusti) perlu tampak wujud materialnya, walaupun tidak harus dipamer-pamerkan kepada orang lain. Keputusan “ikut Tuhan” (ndherek Gusti) tersebut juga perlu kelihatan kejujuran-autentiknya, tidak dibuat-buat, terasa amat cocok dan nyaman/pas dengan keadaan diri yang harus terus-menerus dihidupi dan dikembangkan. Dan, keputusan “ikut Tuhan” (ndherek Gusti) itu juga harus kelihatan konkret wujud moralnya: mesti membuat diri seorang insan menjadi baik, menjadi bajik, dan rajin mengusahakan kebaikan-bersama. Jika hendak disarikan, “theologia in loco” (kapasitas untuk membahasakan kehadiran ilahi) perlu didampingi dengan “evangelisasi in tempo” (kapasitas untuk “ikut Tuhan”, ndherek Gusti).
    2. “Evangelisasi in tempo” (ndherek Gusti) itu wujud konkretnya seperti apa?
      1. Wujud konkretnya adalah kehidupan biasa-biasa saja yang mengalirkan “kesaksian iman”.
      2. Tuhan Yesus adalah Sang Saksi Yang Setia (Wahyu 1: 5); dan, sewaktu ditanya oleh Imam Agung Kayafas, DIA meminta supaya yang ditanya adalah para murid-Nya yang adalah saksi-saksi atas apa yang sudah diajarkan-Nya (Yoh 18: 21). — Ini adalah cara bicara Rasul Yohanes yang mempresentasikan suatu “epistemologi Injil”: yaitu, bahwa realitas-ilahi itu hadir karena kesaksian dalam komunikasi iman. Di dalam kesaksian dan komunikasi iman itu ada “logos” (kata) yang sirkulasinya akan membuat orang semakin sadar akan kehadiran “Sang Logos” (yaitu Sang Sabda Yang Menjelma Manusia); sebab, menurut Matius, “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18: 20).  Lokus/tempat kehadiran Kristus tidak pernah bisa dijamah secara soliter, karena misterinya terlalu besar (dan mungkin bisa membuat orang jadi tidak waras pikirannya); oleh sebab itu, untuk mengalami Kristus, orang perlu berkomuni-dan-berkomunikasi di dalam perhimpunan para saksi iman. Itulah yang membuat Tuhan Yesus “tidak mau dijamah” secara personal oleh Maria Magdalena (Yoh 20: 17) tetapi membiarkan Diri-Nya dijamah oleh Thomas di tengah persekutuan para rasul (Yoh 20: 27).  Maria Magdalena mengalami pengalaman personal “bertemu dengan Tuhan”; akan tetapi, pengalaman personal ini tidak bisa divalidasi di luar Gereja. Sebaliknya, Rasul Thomas tidak mengalami pengalaman personal “bertemu dengan Tuhan” ketika dia absen dari persekutuan ibadah mereka; akan tetapi, dia pada akhirnya mendapatkan validasi pertemuan dengan Tuhan di tengah-tengah perhimpunan para saksi iman.
      3. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa isinya “evangelisasi in tempo” (pewartaan Injil di dalam waktu, ndherek Gusti) itu wujud konkretnya adalah persekutuan para saksi iman yang bergerak bersama-sama untuk menceritakan kepada semua orang tentang apa-apa yang telah Allah lakukan dalam hidup mereka secara objektif-material, subjektif-autentik, dan intersubjektif-moral.
    3. Ketika “evangelisasi in tempo” dikerjakan, para saksi iman disertai dengan kehadiran ilahi yang tidak kelihatan, namanya “Sang Parakletos” (Yoh 14: 16;  para = pendamping; kalein = berseru; seperti advokat yang berdiri di samping orang yang dibelanya). Para saksi iman itu disertai oleh Allah yang aktif membela, menolong, memberi nasihat: yaitu Roh Kudus.  Kepada DIA mereka perlu rajin bercakap-cakap: berkomuni dan berkomunikasi. Saling menyerahkan diri dan membagikan pengalaman hidup.
    4. Oleh sebab itu, ketika Ketika Injil sungguh diwartakan, melalui kehadiran para saksi iman itu, manusia akan mengalami semangat hati gembira yang berkobar-kobar. Paus Fransiskus mengatakan hal ini, “The joy of the gospel fills the hearts and lives of all who encounter Jesus,” kegembiraan karena Injil itu memenuhi hati dan mendiami setiap perjumpaan dengan Yesus (EG 1). Hal itu dialami oleh para murid Kristus, ketika mereka berjumpa dengan Sang Pewarta Injil yang Setia, yaitu Tuhan Yesus yang bangkit dari Kematian-Nya (Luk 24: 32). Unsur “semangat hati gembira yang berkobar-kobar” ini dapat menjadi ukuran: apakah suatu tindakan iman adalah sungguh-sungguh “evangelisasi in tempo” (pewartaan Injil secara cocok pada suatu waktu) ataukah hanya sekadar omongan teologis semata.
    5. Akhir-akhir ini, ada sebagian orang mengeluh karena merasa bahwa di masa kini Gereja tidak lagi mewartakan Injil, sebab tidak ada usaha untuk membagi-bagikan kitab suci, atau membagikan traktat rohani, atau pergi ke kalangan orang-orang non-Kristiani untuk bercerita tentang Yesus Kristus.
    6. Keluhan tersebut bisa dipahami; namun, hal itu perlu diolah lebih lanjut. Jika kita memang hendak serius mewartakan Injil, kita perlu memandangnya bukan sebagai suatu kewajiban agama tetapi perbuatan ndherek Gusti sesuai dengan ruang-dan-waktu yang dilintasi.
    7. Kegiatan “mewartakan Injil” hanya akan jadi malapetaka apabila tidak menghadirkan proses “evangelisasi in tempo” (pewartaan Injil yang cocok dengan waktunya). Sebab, yang diwartakan bukanlah isi traktat rohani atau pun rumusan teologi kitab suci. Yang diwartakan adalah Diri Yesus Kristus sendiri, Sang Waktu (Alpha-Omega),  Sang Logos (Saksi Setia), dan Sang Kehidupan yang sedang mengubah realitas-dosa menjadi realitas-rahmat-ilahi. Kalau kita serius melayani-NYA, dan membuat-NYA merasa nyaman dengan hidup dan persekutuan kita, maka akan ada gerakan pewartaan Injil yang kedahsyatannya tidak pernah bisa direncanakan atau pun dibayangkan orang (Yoh 24:12, “Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang AKU lakukan, bahkan pekerjaan yang lebih besar dari pada itu.”).
    8. Oleh sebab itu, alih-alih membebani orang Kristiani dengan kewajiban-kewajiban keagamaan, Paus Fransiskus menganjurkan supaya kita selalu ingat: bahwa orang Kristiani dipanggil untuk berjumpa dengan Kristus setiap hari.  Kata Sri Paus,  “I invite all Christians, everywhere, at this very moment, to a renewed personal encounter with Jesus Christ, or at least an openness to letting him encounter them; I ask all of you to do this unfailingly each day” ; aku mengundang semua orang Kristiani di segala tempat, pada saat yang istimewa ini, untuk memperbarui perjumpaan personal dengan Yesus Kristus, atau paling tidak membuka diri untuk mempersilakan DIA menjumpai mereka; aku berdoa supaya Anda semua tidak jemu-jemunya melakukan hal itu setiap hari (EG 3). “Evangelisasi in tempo” bukanlah sekadar pergi membagi-bagikan traktat rohani. Itu adalah usaha untuk membuka diri kepada karya Tuhan, lalu pergi mencari-NYA di dalam perjumpaan konkret dengan sesama manusia di dalam suka-dukanya kehidupan mereka, di dalam peristiwa komuni dan komunikasi: saling memberi diri, saling berbagi cerita kehidupan.
    9. Namun, perlu digaris-bawahi baik-baik di sini: bahwa sikap membuka diri untuk berjumpa dengan Kristus itu bukanlah melulu tindakan doa kontemplatif. Usaha membuka diri untuk berjumpa dengan Kristus itu perlu diwujudkan dalam bentuk tindak konkret yang sifatnya aktif: bergerak, melangkah, mewartakan Injil. Tidak acuh-tak-acuh, tetapi tanggap terhadap ekspresi penderitaan jiwa manusia.  Sri Paus Fransiskus lebih suka melihat orang-orang Kristiani yang sepatunya berdebu karena banyak bepergian menjumpai sesama manusia dan melakukan “komuni serta komunikasi iman” daripada melihat orang-orang dengan busana serba-rapi tetapi hanya sibuk di kehidupannya sendiri saja. Dikatakannya,

The Church which “goes forth” is a community of missionary disciples who take the first step, who are involved and supportive, who bear fruit and rejoice.  An evangelizing community knows that the Lord has taken the initiative, he has loved us first (cf. 1 Jn 4:19), and therefore we can move forward, boldly take the initiative, go out to others, seek those who have fallen away, stand at the crossroads and welcome the outcast.  Such a community has an endless desire to show mercy, the fruit of its own experience of the power of the Father’s infinite mercy.  Let us try a little harder to take the first step and to become involved. (EG 24) | 

Para peserta seminar berfoto bersama diakhir acara

 Keunikan Kristen Jawa di tengah Disrupsi Digital

  1. Sampai di sini, kita dapat semakin menggarisbawahi bahwa teologi saja tidaklah cukup. Sesudah teologi, supaya teologi itu menjadi hidup, haruslah ada tindakan mewartakan Injil. Jika teologi itu dikerjakan sebagai “theologia-in-loco” (agar sungguh terasa bermakna) maka tindakan-mewartakan-Injil itu dikerjakan sebagai “evangelisasi-in-tempo” (agar sungguh melayani Kristus yang aktif menghadirkan Diri-Ilahi-Nya pada suatu waktu).  Prosesnya Kristus menghadirkan Diri-Ilahi-Nya pada suatu waktu spesifik itu adalah melalui peristiwa: komuni dan komunikasi iman yang bobotnya signifikan.
  2. Bobot signifikan dari peristiwa komuni-dan-komunikasi iman itu punya satu parameter, yaitu: sentuhan afektif yang membangkitkan pencerahan batin dan pertobatan eksistensial. Ini adalah proses edukasi terhadap—apa yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai—hasrat akan pengakuan, “the desire for recognition” (Rachmadi 2019, 40). Dari rekognisi itu, insan manusia mengalami fenomena surplus makna yang menciptakan sensasi akan kehadiran roh (daya hidup) di dalam personalitas, komunalitas, dan wilayah ethnos yang menjadi asumsi jati dirinya.  Orang yang mendapatkan rekognisi akan merasa bahagia, seperti dikunjungi oleh Tuhan sendiri. Inilah kunci untuk melakukan pewartaan Injil di dalam aliran waktu yang kita alami sehari-hari:  kita perlu membagi-bagikan “recognition” (pengakuan) terhadap keberadaan orang lain secara objektif-material, subjektif-autentik, dan intersubjektif-moral.
  3. Proses pewartaan Injil itu tidak cukup hanya diwujudkan dengan menghadirkan omongan saleh, atau nasihat teologis, atau hal-hal yang dianggap berbau rohani. Proses pewartaan Injil itu perlu menjelma selalu menjadi “evangelisasi-in-tempo” (Ndherek Gusti) yang wujud konkretnya adalah menjawab kebutuhan insan manusia akan rekognisi. Pewartaan Injil macam itu hadir dalam bentuk kesungguhan sikap untuk mengusahakan kebaikan bersama, menumbuhkan kebajikan autentik, dan mendeseminasi pencerahan yang membebaskan jiwa manusia. Jika manusia mengalami pencerahan dan pembebasan, ia akan dapat mengatasi aneka belenggu rohani yang wujudnya: takhayul, halusinasi, dan delusi yang menghambat pertumbuhan  kesejahteraan/well-being-nya insan manusia.
Usaha ndherek Gusti itu menyatu dengan aktualisasi vitalitas kehidupan. Orang mencari “hidup” dengan cara mencari “kerja” yang membuat dirinya terpadu dengan jaringan kehidupan ekonomi.  Seorang sejarawan GKJW merefleksikan hal ini dengan mencatat suatu peristiwa yang terjadi pada sekitar tahun 1830-an, ketika orang-orang yang rindu Injil, dari desa Ngârâ, pada akhirnya memutuskan untuk lebih mencari baptisan daripada menaati  larangan kepala desa mereka. Hal itu membuat mereka kehilangan pekerjaan dan harus mencari “kerja” baru yang selanjutnya menghempaskan dan menyerakkan hidup mereka ke berbagai wilayah di Jawa Timur. Sejarawan GKJW tersebut mengatakan,

Baptisan yang mereka terima membawa akibat: yaitu diusir oleh Coolen untuk pergi dari Ngârâ . . . ke Sidokare. . . . Akan tetapi, harapan tidak seindah kenyataan, di Sidokare mereka dipaksa menjadi pengrajin tembikar dan pedagang, suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan jiwa mereka sebagai petani serta peladang. . . . Mereka pun membuka lahan baru seperti di Maron (di Kabupaten Blitar), Aditoya (di Kabupaten Nganjuk), Majawarna (di Kabupaten Jombang), bahkan menyebar ke Malang bagian Selatan. Dengan berbekal ngelmu Kristen, mereka juga menantang keangkeran hutan belantara dan tepi pantai Laut Selatan Jawa Timur untuk tempat bermukim mereka dan membuka ladang. (Adi 2024, xx, xxi, xxii)

Berbeda dengan keterhempasan orang-orang Ngârâ tersebut, saat ini, kita pun sedang terhempas ke suatu situasi zaman yang unik. Keunikannya adalah terjadinya fenomena disrupsi digital yang membuat orang banyak terhempas ke cara hidup konsumeristis. Disrupsi digital itu sendiri sebetulnya “biasa-biasa saja”; itu adalah bagian dari kemajuan zaman dan teknologi manusia. Akan tetapi, seiring dengan itu, menurunnya kapasitas jiwa manusia untuk bersikap eling lan waspada (conscious, having conscience, and aware) pada akhirnya menciptakan cara hidup yang konsumeristis. Situasi disrupsi digital itu membuat banyak orang tidak sadar bahwa pikirannya dibajak (di-hijack) oleh mesin-mesin cerdas berteknologi AI (artificial intelligence). Mesin-mesin itu memang membantu proses pengolahan data agar semakin cepat dan efisien; akan tetapi, mesin-mesin itu juga menciptakan situasi disruptif (perubahan ultracepat) yang membuat  manusia tergopoh-gopoh untuk menyusun ulang daya-daya adaptatif dalam hidupnya.

Cara hidup konsumeristis adalah keadaan di mana orang tidak lagi melihat kehidupan sebagai mata rantai saling memberi dan saling menerima, tetapi sebagai proses produksi dan distribusi yang menciptakan the end user, yang seolah-olah berhak melepas barang pemuas kebutuhannya ke wilayah sampah. Manusia menjadi makhluk pemroduksi sambah yang ukurannya semakin besar. Sampah fisik maupun nonfisik. Cara hidup yang konsumeristis ini rasional, masuk akal, sesuai dengan logika ekonomi produktif; akan tetapi, cara hidup ini lambat laun akan membuat manusia terjerat ke mesin-mesin perekonomian dan menjadi lupa diri: ia lupa akan keterkaitannya dengan Allah; ia lupa akan rasanya bercakap-cakap dengan Kristus yang bertakhta di pusat hatinya; ia lupa akan keterhubungannya dengan keseluruhan peristiwa di alam semesta mulai dari titik awal/Alfa hingga akhir/Omega. Padahal, Kristus adalah Sang Pembingkai segala hal dari awal hingga akhir (Wahyu 1: 8; 21: 6; 22: 13).  Tentang ancaman ini, Sri Paus Fransiskus mengatakan,

The great danger in today’s world, pervaded as it is by consumerism, is the desolation and anguish born of a complacent yet covetous heart, the feverish pursuit of frivolous pleasures, and a blunted conscience. Whenever our interior life becomes caught up in its own interests and concerns, there is no longer room for others, no place for the poor. God’s voice is no longer heard, the quiet joy of his love is no longer felt, and the desire to do good fades. (EG 2)

Jika kita ikut arus saja, dan tidak mau melihat dengan jernih betapa dahsyatnya hempasan cara hidup konsumeristis itu, maka kita akan menjadi rusak oleh penyakit rohani “menjadi asing dengan Suara Tuhan” di tengah-tengah arus sikap hidup konsumeristis itu. Penyakit rohani yang hanya bisa diatasi melalui sikap tobat ketika berhadapan dengan warta Injil.

Oleh sebab itu, parameter berikutnya dari “evangelisasi-in-tempo” patut digarisbawahi lagi, yaitu: bahwa pewartaan Injil itu bukanlah semata-mata membagi-bagikan omongan rohani, tetapi usaha untuk mengatasi degradasi nilai kemanusiaan insani karena hempasan sikap hidup konsumeristis. 
Di tengah-tengah situasi tersebut, keunikan Kristen Jawa perlu ditampilkan ke permukaan sebagai warisan para leluhur yang memuat kisah-kisah berharga bermuatan daya adaptatif untuk menghadapi perubahan zaman.

    1. Situasi zaman pada tahun 1827-an adalah keadaan sejarah yang sedang mengalami perubahan besar-besaran:
      1. Pada waktu itu, dunia diguncang oleh Revolusi Kemerdekaan Amerika (1765–1783) dan Revolusi Perancis (1789–1799). Peta dunia berubah total.
      2. Di Indonesia, zaman pun berubah cepat: dari zaman VOC (di bawah situasi Republik Belanda 1595–1799) ke zaman Hindia Belanda (di bawah situasi Kerajaan Belanda (1800–1949).
    2. Para leluhur orang-orang Kristen Jawa, yang kebanyakan adalah wong ndesa, mungkin tidak paham betul akan apa-apa yang sedang terjadi.
    3. Akan tetapi, mereka mencoba memakai khasanah bahasa ngelmu Jawa untuk memahami situasi. Karena literatur terbatas, mereka melahap apa saja: termasuk terjemahan Alkitab PB yang dilakukan oleh Bruckner pada tahun 1815-an. Walaupun sastranya jelek, akan tetapi hal itu merangsang edukasi iman untuk membangkitkan “evangelisasi in tempo” di dalam diri mereka.
    4. Di tengah perubahan zaman, para leluhur dari orang-orang Kristen Jawa tetap membina keutuhan jaringan sosial mereka sambil terus-menerus mencari akses ke dunia luar yang lebih besar melalui kehadiran para misionaris yang sering tidak bisa mereka pahami bahasa maupun cara berpikirnya.
  1. Sekarang, di tengah-tengah situasi disrupsi digital yang terjadi, situasi kita adalah berkebalikan dengan para leluhur orang-orang Kristen Jawa.  Kalau dulu mereka haus akan akses ke dunia luar, saat ini kita kewalahan dengan berbagai akses yang sifatnya meluas tanpa batas. Hal penting yang mungkin perlu kita pertahankan sebagai warisan pusaka mereka adalah: disiplin ngelmu dan ketekunan untuk terus-menerus bertahan hidup.
    1. Di tengah disrupsi digital kali ini, disiplin ngelmu perlu kita asah. Terlalu banyak informasi kita terima setiap hari, tetapi amat sedikit proses meditasi dan kontemplasi yang mengiringinya.
    2. Bukan banyaknya informasi yang membuat kita semakin dekat ke “evangelisasi in tempo” atau pun “theologia in loco”; akan tetapi, kita perlu mengolah aneka informasi itu menjadi konstruksi-konstruksi pemahaman yang terasa betul nilai maknanya.
    3. Dengan semakin banyaknya “nilai makna” yang bisa dirasakan, kerohanian kita akan disegarkan terus-menerus agar semakin betah berada dalam perjumpaan dengan Tuhan yang terus-menerus menyatakan Diri-Nya dan mengajar kita dengan aneka “perumpamaan” (masalah kehidupan) untuk menumbuhkan daya nalar maupun daya iman kita.

Penutup

Berdasarkan paparan tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa usaha pewartaan Injil itu adalah suatu proses yang wujudnya bukan Kristenisasi (artinya membuat orang beragama Kristiani), tetapi suatu proses untuk terus menerus melakukan edukasi iman agar hidup Kristiani orang—baik personal maupun komunal—menjadi berfungsi efektif untuk menjawab kebutuhan hati manusia akan “the desire for recognition” (hasrat untuk diakui).  Hal ini membutuhkan dukungan rahmat ilahi yang terus-menerus dan akan selalu kandas apabila kita lupa untuk rajin bertobat di hadirat Allah.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, kita dapat melihat hal-hal penting yang harus dilakukan di masa depan: yaitu untuk mengolah kehidupan gerejawi kita agar menjadi suatu “agama yang indah”: yaitu agama yang membuat orang diperlengkapi dengan alat-alat rohani untuk melakukan edukasi iman di hadapan Tuhan secara terus-menerus.

Dipenghujung acara beberapa penulis sejarah GKJW yang kebetulan juga para redaksi penabur.id memberikan kenang-kenangan buku karangannya kepada pembicara Pdt. Simon Rachmadi, Ph.D.  Judul buku antara lain,

Kyai Irawana – Sang Pencari Cahaya Sejati dan Ambabaddi Bongsorejo, Kisah Kyai Klass dan Putri cantik, karangan Wiryo Widianto dan Hadiyanto.

Ebing, Baptisan & pendeta pertama Suku Madura (kisah jemaat Sumberpakem), karangan Hadiyanto.

Surabaya Jejak Sejarah Munculnya Kekristenan Jawa Mula – mula karangan Hendra Setiawan.


Bersamaan itu diperkenalkan buku karangan Wiryo Widianto, Negari Karunia Adi & Iman Wimbadi dengan buku kisah nenek moyangnya  Kyai Wakya dan Kyai Sesam Midin   yang akan segera diluncurkan.

 

 


Posting Komentar

0 Komentar