Riyaya Undhuh-Undhuh dan Penyusutan Lahan Sawah (1)

 

Ditahun 2019, Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno mendapatkan sertifikat Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari Kemendikbudristek. Dengan SK Penetapan. No SK : 362/M/2019. Nomor Registrasi : 201900986. Nama Karya Budaya :Riyaya undhuh-undhuh Mojowarno. Kab. Jombang. Provinsi :Jawa Timur. Domain : Adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan.

 

Riyaya Undhuh-Undhuh ini biasanya diadakan di Bulan Mei oleh Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno (juga dilakukan serempak oleh jemaat gereja lainnya). Sebelum ibadah syukur, tujuh blok di GKJW Mojowarno ini (Mojowarno, Mojoroto, Mojotengah, Mojojejer, Mojowangi, Mojodukuh dan Rumah Sakit Kristen Mojowarno) melakukan arakan hasil bumi menuju gereja.

Menurut buku Sejarah Riyaya Undhuh- Undhuh Mojowarno yang disusun oleh tim pencatat sejarah GKJW Mojowarno tahun 2018, Riyaya Undhuh Undhuh adalah masyarakat tradisi agraris di Mojowarno. Pola penghayatan masyarakat agraris, tidaklah mudah dipahami oleh generasi yang tidak lagi hidup pada zaman itu. Tata nilai masyarakat dan rangkaian dinamika hidupnya, menentukan budaya masyarakat tersebut. Budaya terus berkembang sesuai perkembangan perikehidupan manusia itu sendiri.



Para pendiri desa-desa Kristen di Jemaat Mojowarno (founding father) saat itu berkarya melalui membuka hutan. Mereka membangun pemukiman dan mengolah lahan pertanian lengkap dengan pola kebudayaan dan sistem religiositas yang mereka miliki. Perpaduan tradisi dan religiositas menjadikan tatanan budaya yang unik. Dalam masyarakat Kristen Mojowarno, sebelum melakukan Riyaya Undhuh-undhuh dikenal tradisi yang diberi nama: Kebètan , Keleman , dan akhirnya Undhuh-undhuh . Tradisi ini merupakan rangkaian upacara yang berurutan dengan berakhirnya puncak acara, yaitu Riyaya Undhuh-undhuh.

1. Kebetan

Pada saat akan turun ke sawah (memulai mengerjakan sawah), masyarakat Kristen Mojowarno melakukan tradisi berupa upacara Kebètan. Dalam bahasa Belanda, doa disebut gebed. Kemungkinan besar, lidah orang Jawa menyebutnya dengan kebet atau kebetan. Doa bersama atau Kebètan merupakan doa yang dilakukan bersama sebelum para petani memulai turun mengerjakan sawah kepada Gusti Allah. Doa bersama itu berisi ucapan syukur dan meminta perlindungan dan keselamatan agar tidak ada halangan selama bekerja.

Doa permohonan itu mengharap penyertaan kuasa Tuhan agar dalam mengerjakan sawah, ada keselamatan. Keselamatan bagi yang membantu pekerjaan termasuk binatang-binatang yang dimanfaatkan, demikian pula kiranya Tuhan memberikan hujan secukupnya.

Biasanya warga membawa encek (isinya: urap-urap, ayam, orem-orem) dibawa ke sinagoga atau kantor desa. Masyarakat setempat sering menyebut: " ngetokno asahan " atau mengeluarkan tumpeng. Setelah berdoa kemudian dimakan bersama. Acara Kebètan dipimpin oleh kepala desa atau kepala dusun yang mengundang pendeta dan penatua untuk berdoa sama. Upacara itu dilaksanakan sekitar bulan Oktober.

Sebuah tanda yang diberikan dengan cara memukul kentongan desa Biasanya acara itu diadakan pada siang hari, pukul 14.00. pada jam 13.00. Hal itu sebagai tanda bahwa di rumah-rumah sudah mempersiapkan diri. Pada jam 13.30, kentongan dipukul lagi tanda berangkat dari rumah masing-masing. Pukulan kenthong yang ketiga tepat pukul 14.00, tanda bahwa acara dimulai.

Prosesi ini dibuka oleh sesepuh desa dengan terlebih dahulu menjelaskan maksud dari pertemuan tersebut. Begitu penjelasan sesepuh selesai, anggota majelis jemaat atau pendeta memimpin kebaktian yang diisi dengan renungan dan doa yang disertai puji-pujian. Selesai kebaktian ditambah dengan makan bersama hidangan yang telah disediakan. Pada awalnya kebaktian ini hanya ditampilkan oleh para pria dan para pemuda. Namun dalam perkembangan selanjutnya diikuti juga oleh para wanita dan anak-anak. Acaranya pun bisa diadakan pada malam hari pukul 18.30. Setelah acara Kebètan selesai, para petani baru mulai mengerjakan sawahnya.


2. Keleman

Setelah tanaman padi berusia selapan dina (36 hari), warga mengadakan upacara yang bernama Keleman. Upacara ini bertujuan untuk meminta perlindungan Tuhan agar tidak ada serangan hama. udara yang berkecukupan, dan pertumbuhan padi bisa bagus.

Keleman berasal dari kata kelem , bahasa Jawa yang berani tenggelam atau tenggelam di udara. Semua petak-petak sawah sudah tergenang air. Hanya tanaman padi saja yang terlihat menghijau di seluruh persawahan. Dengan demikian pengertian upacara Keleman mengandung makna ucapan syukur doa syukur kepada Tuhan. Ungkapan terima kasih atas berkat dalam mengerjakan sawah sampai selesai dengan selamat. Lebih dari itu, ungkapan syukur juga mengandung makna pengharapan dan permohonan kepada Tuhan, kiranya dijauhkan dari gangguan hama dan kelak dapat memetik/ngundhuh dengan hasil yang baik.


Upacara Keleman yang melibatkan para orang tua, dewasa, dan generasi muda ini, merupakan kesempatan untuk saling berbagi dan belajar. Dalam pertemuan ini, kadang diisi oleh orang tua yang banyak pengalaman untuk menjelaskan dan mengarahkan tentang pemeliharaan padi. Forum seperti inilah biasanya berlangsung dalam suasana santai, tidak ada yang saling menggurui. Meski para tetua desa lebih banyak berbagi pengalaman, namun mereka juga sudi mendengarkan pelbagai keluhan dan pengalaman para generasi muda. Dalam forum yang guyub inilah, kegiatan belajar mengajar terjadi secara kultural. Pengalaman dituturkan dan dipublikasikan dalam tradisi lisan. Nampaknya, forum inilah yang di zaman Orde Baru dipakai sebagai penyuluhan dari Dinas Pertanian tentang pemupukan atau penanggulangan hama, supaya bisa menghasilkan padi yang semaksimal mungkin.

Acara kebaktian Keleman dilaksanakan di tempat dan cara yang sama seperti upacara Kebètan. Adapun hidangan yang disajikan umumnya berupa kue (makanan ringan). Dalam sajian kue, lazimnya ada kue yang disebut horog-horog dan plèrèt yang disertai kue-kue yang lainnya. Misalnya kue tetel/juwadah , wajik, serabi, nagasari, dll.

Kue horog-horog dan plèrèt dibuat dari tepung beras dan dimakan dengan kelapa yang diparut. Horog-horog melambangkan tanahnya yang subur gembur. Biasanya horog-horog dikukus dan pada awalnya dibentuk kerucut seperti gunung atau dibungkus diberi gula kelapa pada bagian tengahnya yang diberi nama pura, atau dibentuk yang lain. Kue plèrèt melambangkan hama ulat yang perlu dibasmi (di situ dimakan bersama-sama), plèrèt dibentuk berlekuk-lekuk seperti ulat.

Setelah upacara Keleman selesai, tahap selanjutnya adalah melakukan perawatan agar padi bisa tumbuh subur dan hasilnya nanti bisa dipanen dengan berlimpah. Salah satu kegiatan perawatan ada yang disebut matun. Pekerjaan matun adalah pekerjaan mencabut rumput menggunakan tangan tanpa alat (disebut dhadhak ).

 3. Riyaya Undhuh Undhuh

Hari raya ini merupakan hari raya ucapan syukur dan persembahan atas hasil panen yang telah mereka terima. Seperti ajaran Musa kepada umat Israel yang bercorak agraris, mereka mempersembahkan hasil panen pertama yang terbaik kepada Allah (UL. 26:1,2).

"Apabila kamu telah masuk ke negeri yang telah diberikan TUHAN, Allahmu, kamu menjadi milik pusakamu, dan kamu telah mendudukinya dan diam di sana, maka haruslah kamu membawa hasil pertama dari bumi yang telah kamu kumpulkan dari tanahmu yang diberikan oleh TUHAN, Allahmu, dan haruslah kamu masukkan ke dalam bakul, kemudian pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya diam di sana."

Riyaya Undhuh-undhuh adalah salah satu tradisi yang terbentuk dari perjumpaan tradisi Jawa dan ajaran Kristen. Sebab, di dalam masyarakat Jawa dikenal ritual panen raya dan penyimpanan padi ke dalam lumbung. Pada saat itu setiap panen ada upacara memasukkan atau menyimpan padi ke lumbung sesudah panen. Pekerjaan tersebut dulu dilaksanakan secara bergotong royong dengan tetangga yang dekat atau keluarga. Sementara itu, dari sisi tradisi ajaran iman Kristen yang meneladani ajaran Nabi Musa dengan mempersembahkan hasil panen pertama yang terbaik.

Kegiatan mengumpulkan padi biasa disebut kegiatan ani-ani . Hal ini karena dalam memotong tangkai padi dengan alat yang bernama ani-ani, Namun dalam perkembangan untuk mempercepat digunakan sabit. Untuk memisahkan padi dan tangkainya dilakukan dengan dilles (digilas dan diinjak-injak dengan kaki) atau di- geblog (dipukul dengan kayu bengkok berbentuk huruf J terbalik). Setelah padi terpisah dari tangkainya, dijemur sampai kering sambil dibersihkan.

Hampir semua sisa panen bisa dimanfaatkan. Sisa tangkai dan daunnya dipotong digunakan sebagai pakan ternak atau pupuk Zaman dulu potongan padi biasanya dibiarkan dengan tangkainya Tangkai ini peronggok diikat dan ikatan ini disebut pencar . Pencaran padi inilah yang nantinya disimpan di lumbung. Karena dahulu jenis padinya adalah pari Jawa (padi Jawa), di mana menyisakan gagang atau tangkainya, maka ketika memasukkan padi ke lumbung cukup dengan ditumpuk saja. Acara memasukkan padi ke lumbung padi biasanya ada makanan yang namanya kleci yang terdiri makanan tetel/juwadah diiris persegi sebesar dhadhu dimakan dengan enten-enten (kelapa parut yang diolah dengan gula kelapa).

 

Pada zaman dahulu acara memasukkan padi ke lumbung biasa disertai upacara. Prosesinya dimulai dengan membuat dua ikat padi kecil yang bertangkai dibentuk seperti golekan atau boneka. Satu golekan atau boneka diberi pakaian laki-laki yang melambangkan Sudhana. Satu boneka lagi diberi pakaian perempuan yang melambangkan Dewi Sri. Golekan padi yang sudah dihias itu, dimasukkan ke dalam lumbung yang didukung oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki. Ketika mereka memasukkan ke dalam lumbung, dengan khidmat diiringi alunan tembang kothekan (musik lesung) dengan lagu berjudul Dhudha Njaluk Lawang.

Setelah era 1930-an, upacara memasukkan padi mengalami perubahan, yakni dari lumbung pribadi, ke lumbung gereja milik jemaat. Selain itu, juga dilakukan “modifikasi”. Misalnya, para petani tidak lagi membuat golekan atau boneka Sudhana dan Dewi Sri. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, warga jemaah membuat bangunan/patung yang lebih besar sesuai tokoh-tokoh dalam cerita Alkitab yang dibuat dari hasil bumi. Bangunan ini diarak warga gembira dengan mengalunkan lagu-lagu pujian yang diputari musik kothekan menuju halaman gedung gereja.

 

Pertemuan tradisi mempersembahkan hasil panen yang pertama serta tradisi memasukkan padi ke dalam lumbung inilah yang menjadikan budaya yang baru yang bernama Hari Raya (Riyaya) Undhuh-undhuh. Hari Raya Undhuh-undhuh dijadikan atau dijadikan contoh dari Hari Raya Pentakosta. Kebetulan pada waktu itu Hari Raya Pentakosta bertepatan dengan musim panen, yakni bulan Mei. Sebab pada masa itu, panen padi hanya bisa dilakukan sekali dalam setahun. Undhuh-undhuh memiliki makna sebagai wujud persembahan dari sebagian hasil panen Jemaat Mojowarno kepada Tuhan dengan penuh kebahagiaan. Selain itu dapat diartikan sebagai wujud ucapan terima kasih atas ucapan terima kasih yang telah mereka terima dari Tuhan.

 bersambung...


Ditulis oleh Hadiyanto untuk penabur.id

Dalam menyambut Hari Raya Undhuh-Undhuh GKJW bulan Mei 2025.

Posting Komentar

0 Komentar