![]() |
Merefleksikan kembali semangat ekumene melalui tokoh sejarah (dok. PGIW Jatim) |
Menyambut Bulan Oikumene (Ekumene), PGI Wilayah Jawa Timur menggelar “Bincang Sejarah dan Bedah Buku” (11/10/2025).
Kegiatan ini dilaksanakan di tempat yang bersejarah juga, yakni GPIB
Immanuel Bubutan, Surabaya. Salah satu gedung gereja Protestan (Protestantsche Kerk)
mula-mula yang juga menjadi cagar budaya.
Judul buku yang dibedah adalah Riwayat Hidup J.E. Jellesma, Sang Rasul Jawa, karya Wiryo Widianto. Jellesma merupakan salah satu misionaris Kristen dari Belanda yang
sangat berperan di Jawa Timur pada tahun 1848-1858. Perannya besar dalam menyatukan 2 (dua) aliran yang saat itu berkembang dalam kehidupan iman Kristen pribumi Jawa.
Selain di Jawa Timur, Jellesma ternyata juga punya peran dalam membantu Pekabaran Injil di Jawa Tengah. Dia mengutus murid-muridnya membantu misionaris, seperti: Anting dan Pieter Jansz yang berasal dari
Lembaga Misi lain yang berbeda dengan asalnya.
Semangat ekumene di masa lampau itu, spiritnya diangkat kembali melalui
tema acara ini: “Semangat Ekumene
dalam pewartaan Injil di Jawa Timur”. Hadir dalam kegiatan ini dari anggota
gereja PGI di Jawa timur seperti utusan sinode (GKIN, GPIB,
Bethany, GAPI), dan PGIS (Gresik, Mojokerto, Nganjuk, Madiun). Juga dari anggota jemaat gereja lokal di Surabaya (GKJW, GKI, GKSI,
GSJA, HKBP, GPPS) dan lembaga mitra PGIW Jatim (LBH HOPE, PIKI, GAMKI, JKLPK, Pustakalewi). Serta peserta umum lainnya, seperti mahasiswa jurusan sejarah dari Surabaya, Kediri dan Malang serta
jurnalis mitra PGI.
![]() |
Pdt. Rully sebagai tuan rumah dan moderator juga memperkenalkan gedung gereja sebagai cagar budaya (dok. PGIW Jatim) |
Langkah Awal Kebersamaan
Rully A. Haryanto sebagai pendeta jemaat tuan rumah, menjadi moderator dalam acara. Ia membersamai kegiatan yang
berlangsung sekitar 120 menit ini bersama narasumber dan penanggap, yaitu: Wiryo Widianto (penulis buku) dan Simon Filantropha (pendeta senior GKI).
Acara dibuka
dengan sambutan Ketua
Umum PGIW Jatim, Pdt. Natael Hermawan Prianto. Ia menyampaikan, tujuan
acara ini diadakan untuk meminimalkan rasa inferior atau minder sebagai orang Kristen di Jawa
Timur. “Kita ingin menunjukkan bahwa kekristenan di Jawa Timur telah hadir jauh
sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, benih-benih Injil sudah ada
sejak abad-abad sebelumnya.”
Topik dan judul buku ini diharapkan menjadi awal dari
sebuah seri. Sosok Jelesma menjadi titik awal, dan ke depan akan ada
tokoh-tokoh lain yang diangkat. Bahwa dengan mengenalkan
sosok Jellesma yang telah berhasil menyampaikan Injil dengan damai dan toleran
serta peduli dengan lintas iman, harapan ke depan, dari sinode lain juga bisa menampilkan sejarahnya. “Kebetulan saat ini penulisnya dari jemaat GKJW. Biar adil yang menanggapi Pendeta GKI senior, dan tempatnya di GPIB. Namun yang hadir dari sinode-sinode lain juga banyak,” imbuhnya lagi.
![]() |
Pdt. Natael didampingi Sekum, membuka acara dan sambutan kepada peserta (dok. PGIW Jatim) |
Belajar dari Sang Tokoh
Sebelum menguraikan isi bukunya, Wiryo Widianto menampilkan video hasil kerjasama dengan Bina
Sabda yang menceritakan kisah hidup J.E. Jellesma. Dimulai dari masa kecil hingga menjadi Misionaris (Zendeling) yang diutus ke Hindia Timur (sebutan Indonesia saat itu).
Menurut Wiryo, peran penting Jellesma antara lain adalah pertama, menyatukan dua model ajaran yang dilakukan oleh
2 (dua) pekabar Injil awam sebelumnya; antara Johannes Emde di Surabaya dan C.L.
Coolen di Ngoro, Jombang. Mereka memiliki cara
pandang yang amat bertolak belakang.
Bagi Emde, menjadi Kristen
harus menggunakan cara Barat dan wajib dibaptis. Sementara menurut Coolen, menjadi Kristen
tidak perlu meninggalkan adat dan budaya Jawa dan tidak perlu ikut baptis.
Masing-masing pengikutnya sangat fanatik terhadap pemimpinnya. Di sinilah
Jellesma berperan menyatukan kedua ajaran itu
di Mojowarno, Jombang (peran
Ekumene).
Kedua,
Jellesma mampu meletakkan
dasar pendidikan untuk menyiapkan para pemimpin jemaat dan pemimpin desa dalam
pewartaan Injil. Metode pemuridannya sangat bagus dan menjadi acuan bagi
misionaris selanjutnya (Zendingsmethode).
Ketiga, membantu pekabaran
Injil di Jawa Tengah dengan mengirimkan muridnya membantu Pieter Jansz, seorang misionaris pertama dari gereja Mennonit Belanda (peran
Ekumene). Termasuk juga dengan kehadiran
tokoh seperti Kiai Sadrah dan Tunggul Wulung sebagai murid Jellesma, menjadi
bagian dari sejarah berdirinya gereja GKJ (Gereja Kristen Jawa).
Ini menunjukkan betapa pentingnya peran Jellesma dalam membentuk
jaringan penginjilan lintas lembaga dan wilayah.
Keempat, punya kepedulian dengan membangun sisi
sosial dan ekonomi dalam berkarya dengan membantu orang-orang miskin di
daerahnya melalui penciptaan “Lumbung Miskin”. Selain itu dia mengenalkan
pengobatan modern. Semua ini dilakukan tanpa memandang iman yang dilayani (Lintas Iman).
![]() |
Pdt/ Simon memberikan tanggapan atas karya penulis buku, Wiryo Widianto (dok. PGIW Jatim) |
Warisan Keteladanan
Menanggapi isi buku yang ditulis itu, Pdt. Em.
Simon Filantropha menggarisbawahi
tokoh Jellesma. Pertama, Jellesma
adalah tokoh pietis. Semangat
penginjilannya sangat tinggi. Kesalehan pribadi seperti ini hendaknya masih
hidup di tengah kita
saat ini.
Kedua, model pemuridan Jellesma adalah ala “Nyantrik Jawa”. Jadi, murid tinggal
bersama guru, belajar dari kehidupan sehari-hari. Kehidupan bersama inilah yang menjadi inti pemuridan. Bukan
sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan karakter dan spiritualitas melalui
teladan hidup.
Ketiga, salah satu kekuatan utama
Jellesma adalah kesediaannya untuk berkorban. Kehidupan pribadinya pun penuh
pengorbanan. Ia kehilangan dua anaknya, dan harus menghidupi banyak orang dalam
rumah tangganya. Kesediaan berkorban ini ditanamkan dalam keluarganya dan
menjadi teladan bagi banyak orang.
Keempat, Mojowarno menjadi
tempat yang dibuka dari hutan, menjadi pusat kehidupan dan pelayanan. GKJW
memiliki banyak tanah yang digarap oleh jemaat. Ketika ada kebutuhan, muncul
pertanyaan: “Bagaimana
pengelolaannya?”
Karena tidak ada perjanjian tertulis, pengelolaan tanah gereja bisa menjadi isu
yang kompleks. Jellesma tampaknya sudah menyadari pentingnya hal ini sejak
awal.
![]() |
Sesi tanggapan dari peserta atas paparan yang disajikan (dok. PGIW Jatim) |
Harapan
Perbincangan ini makin menarik ketika
ada tanggapan dari Pdt. W. Kristian Wijaya dari PGIS Madiun, Pdt. Manurung dari
HKBP dan Pdt. Suranto dari Sinode Gereja Allah Peduli Indonesia" (GAPI). Masing-masing
berefleksi terhadap panggilan dan tantangan gereja di masa kini.
Pada akhirnya Pdt. Rully menutup acara dengan simpulan bahwa ajaran Jellesma menjadi contoh yang
baik bagi gereja-gereja masa kiniuntuk
mengembangkan semangat ekumenis dan
kerjasana lintas iman melalui pemuridan dan kaderisasi. Sehingga pelayanan tidak menjadi one man show; tetapi melibatkan banyak orang. Gereja-gereja
harus makin bersatu dan tidak tersekat dengan perbedaan denominasi sesuai
dengan doa Tuhan Yesus bagi para muridnya ( Yohanes 17:21)
![]() |
Foto bersama di akhir acara (dok. PGIW Jatim) |
© Tim Penabur
0 Komentar